Rabu, 03 April 2013

Menjelang tidur



Menjelang tidur
Angin mulai mengusiku, tek sedetikpun ia biarkan aku memejamkan mata. Sesekali terkatup tak berapa lama ia bangunkan kembali. Sebenarnya enggan benar badanku untuk bangun hanya saja, malam tak beri kesempatan untuk ku terlelap.
        Malam mulai menunjukkan kesombongannya, dengna pekat yang menggelayut dan dingin yang  senantiasa menyelimuti. Dia tk beri kesempatan untukku melupakan penat siang tadi atau lelahnya perjalanan hari ini. Meski panorama malam menjanjikan namun enggan pula bagiku untuk keluar dan menikmati keindahan dan keramamian yang ditawarkan kota kecil ini.
        Kota tempat aku mengabdikan diri untuk beberapa lama. Entah kenapa hari-hari ku terasa sangat berat, beberapa hari lalu bayangan itu mengelebat kembali. Permintaan sederhana namun begitu berat untuk ku beri.
Di rumahku, di sebuah kampong kecil di kabupaten Brebes. Dengan anginnya yang sejuk dan udara yang menyegarkan. Ada sesosok wajah yang terlalu sering datang menjelang tidurku. Wajah keriput dengan pipi yang hitam dan pucat, wajahnya bergambar derita dan beban yang berat. Kata orang wajah itu mirip dengan ku, tentu saja karena ia ibuku.
        Ya ibuku, wanita desa yang bersahaja dan penuh kasih sayang. Di wajahnya tersirat gambar bayangan anak-anaknya yang berlari mendaki gunung terjal, kata ibu seperti gunung sebelah timur rumah kami, gagah, besar dan indah, tapi tak tau seberapa akuhnya dia memperlakukan kita kalau hendak mencapainya, begitu mimpi kita ujarnya.
        Beberapa hari lalu ia menanyakan kembali pertanyaan sederhana itu di meja makan,
“Kapan mau mengenalkan dia pada Ibu?” ujar ibu sembari menyyuapkan nasi sisa di piingnya,
Aku kaget tak menyangka ibu akan menanyakannya, ingin benar rasanya menjawab kenyataannya, tapi tetap saja kesombonganku menyekutu mulut ku, seperti biasa jawaban ini keluar
“ah, ga usah Tanya-tanya itu dulu, lo udah jodohnya juga pasti datang kemari” sambil beranjak dari duduk dan melangkah k tengah, tapi ibu juga menyahut perkataanku, “ apa salah ibu ingin tau nasib anakku, kalo ya ya ia kalo ga ya engga ,,,jangan mai-main lho,” berllau ke belakang.
Beberapa hari setelah itu, aku selalu menghindari untuk duduk berdua dengan semua anggota keluargaku, siapapun itu. Mungkin salah aku juga mengatakan aku sudah punya pacar, ah salahkah? Tapi apa ada yang perduli dengan ini? Tidak ada. Siapapun selalu ingin aku yang mengerti, keluarga dan orang itu, apa mereka tidak berpikir aku juga ingin dimengerti.
        Lama sekali bayangan itu bergelebat , kadang datang jelas, dan kadang buram. Sudah kucoba tuk memejamkan mata. Tapi hanya pengap saja. Dentum jam menandakan bergantinya jam membuyarkan bayang itu. Jam menunjukan pukul 10 malam, tapi mataku tetap tak mau terpejam.
        Ku baringkan badanku ke kanan, ah ku peluk boneka beruang pink pemberian temanku dua tahun yang lalu. Waktu itu kita berteman akrab, sebelum akhirnya kita tak pernah saling menyapa. Katanya karena aku egois, tapi salahkan kalu aku tidak mau temanku jadi kekasihku. Hubungan persahabatan kami mulai renggang saat dia menyatakan ingin melamarku.
        Siang itu HP ku berdering, sebuah nama tertera di halaman mukanya. Aku angkat dan memang sudah terbiasa aku bercakap banyak dengannya.
“hai Nok, udah masak blum?
“udah donk, “ jawabku singkat, “ kenapa telfon jam segini? Mang ga ngajar tho Mz?”
suara dari seberang tampak jelas “enggak, ntar jam terakhir ngajar akidah”
“ntar diomelin kepala sekolah lho jam kerja telfon, he22,” aku tertawa karena aku juga tau siapa kepala sekolah tempat temanku ini mengajar, ya dia sendiri he2.
“ah, dasar loe’ jawabnya tungkas. “Ntar sore aku main ya, kita main tebak-tebakkan”
“ah ga mau, ngrepotin lu u main kesini, ogah-ogah, ntar biki aku rpot lagi, hufz”
“Eh ngece ya, ya udah lo ga boleh. Kenapa sie lo aku main ga pernah boleh?” nada penasaran terdenar jelas dari pertanyaannya. Ah aku sangat malas menjawabnya. Tiap kali aku menjawab pertanyaan ini sebenarnya sama, tapi entah mengapa di bertanya lagi, apa dia piker jawabanku akan berubah. Padahal tidak ada perubahan sampai saat ini.
        “ga papa, lha kan tau keadaan desaku gimana lo ada yang main dikiranya ada apa-apa” jawabku ringkas.
        Sebenarnya tidak, bukan itu jawabannya karena sebenarnya aku tak menyukainya dan tidak mau dia main kerumahku. Padahal sebenarnya teman-temanku sudah biasa main kerumah, tapi aku tidak pernah mengijinkn dia main kerumahku. Entahlah, kenapa hatiku begitu keras untuk mengijinkannya sekedar main kerumahku.
“ya, kalau kamu takut diomong orang ntar tak lamar, hayo dah siap belum” jawabnya sekejap setelah aku menjawab.  
        “what? Slah orang kali ngomong gitu ma aku, tu lalat aja pada ketawa, tentu saja siap, tapu lho kamu yang nglamar aku minggat aja dech, he22” tawaku renyah seakan sudah menandakan akupun tak mau dia jadi lebih dari kawan dalam hidupku.
        “ya, minggat mendekat, sini-sini”
“PD men, ogah lah…” jawabku ketus
“aku ga ganteng, ga kaya dan bukan siapa-siapa sie ya, makanya kamu ga mau ma aku? Ya gpp lo gitu” lirih
“he2 serius amat Bang? Lagi mau dapet ya, ko melou gitu, he2” aku terus berkelakar seakan tak tau apa-apa.
“emang Mi, kamu tidak pernah menganggap apa yang aku katakan itu kebenaran, selama ini kamu selau menganggap perkataannku hanya banyoln. Padahal kamu tidak tau harus seperti apa akau memendamnya karena kau tak mau mengecewakanmu. Tpi kali ini aku minta serius dengan apa yang aku katakana..” dim sejenak.
        Aku tertegun, baru kali ini orang ini berkata dengan nada memelas, baiasanya penuh tawa dan canda. Aku tak sanggup untuk menjawab karena aku tau aku akan menyakitinya.
        “Mi, boleh ya aku main kerumah?” mulutku masih tetap tertutup saat pertanyaan ini diujarkannya.
        “Halloooo…, ko diem?” aku kaget mendengar sapaan yang behitu keras itu, dengan kaget dan seketika ku jawab “oh ya, ya gimana tadi” masih gugup aku mengajukn pertanyaan ini tapi tanggapannnya berbeda.
        “benarkah kau mengingijinkan aku kerumahmu. oke makasih ya, makasih banget, aku janji sebelum isya aku pulang. Makasih ya Mi. ya udah lo gitu aku ngajar dulu ya ntar kita sambung, ”
Aku masih tetap melongo, apa tadi aku jawab ya? Aku juga bingung.
        Adzan magrib berkumandang, aku mulai menata apa yang aku sampaikan kalau dia sampai menyatakan hatinya. Semua jawaban telah aku siapkan saja.
        Benar juga, di datang membawa sesuatu dank u berikan saja pada ibu tanpa aku ingin tahu apa isinya. Tak berapa lama kita berbasa-basi diapun mengatakan apa yang ku duga sebelumnya. Tanpa ragu, akupun mengatakan apa yang sudah ku rencanakan.
        Itu terakhir kali aku bertemu dengannya sampai saat ini. Terakhir aku dengar dia sudah menikah dengan anak kyai dari salah satu Ponpes di kecamatanku. Sudah punya kehidupan mapan nan mandiri. Syukurlah kalau dia bahagia, sahabatku yang meninggalkanku karena egoku katanya. Tak seperti aku yang sedng berusaha untuk berdiri, dan mengerti bahkan untuk sesuatu yang begitu sulit untuk dimengerti.
        Kembali ku betulkan selimutku. Heeh desah nafasku kini berganti gusar. Jam menunjukkan pukul 24:00, tapi mata ini tetap tak mau diam. Kembali bayangan yang dulu muncul dan menganggu pikiranku.
        Akupun sebenarnya sedang menunggu untuk dimengerti, dimengerti agar aku tak merasa sepi. Dimengerti oleh mimpi-mimpi agar aku tak merasa terlalu jauh berlari namun tak ada arti.
        Semenit kemudian melintas sesosok wajah yang tak asing lagi. Aku akan segera tersenyum padanya saat ia ada di hadapku. Wajah sederhana yang teduh dan tenang, terlalu tenang untuk dimengerti apa yang ada di benaknya. Wajah yang terlalu tenang higga tak dapat ku raba seberapa dalamkah ia.  Wajah yang tak pernah mau pergi kala sepi menghampiri, wajah yang memberi sepi kadang tanpa mimpi, wajah yang melukis mimpi dalam hidupku, wajah yang memintaku untuk tak bermimpi terlalu tinggi, wajah yang ku nanti sepatah janjinya namun tak jua diucapkan, wajah yang ku tunggu tuk bernyali, wajah itu………
        Dia orang yang mampu membuat aku menanti meski tak ada yang pasti, meski segalanya masih berupa mimpi, khayalan tinggi tanpa tepi, sedang kuraih namun kian meningi. Ah wajah itu menyadarkan betapa manisnya tangisku untuk memohon pada Tuhan, seakan tanpa malu agar Ia memberikan wajah itu memenuhi mimpiku.
        Malam mulai beranjak menuju pagi, mataku masih tetap tak mau terpejam meski sudah terasa berat namun tetap saja tak mau mengantarkan aku kelabuhan mimpi. Wajah itu tersenyum lagi, dengan lesung pipit, mengingatkan aku pada sakitku yang lalu, ada ayahku dan saudara-saudaraku.
        Pada ayahku yang berharap ada pastinya bagiku, atau kakak yang menanti aku agar penantianny berkhir. Kadang ingin aku mengatakan kenyataan yang sebenarnya ada dalam hiduku tapi aku takut, takut slah lagi.  Bulan lalu ayah bertanya padaku tentang hal itu dan aku juga hanya diam, karena tak tau apa yang akan ku katakan
       Ah,, malam ini mengajakku melanglang buana pada masa lalu, pada temanku yang sudah berlalu. Atau pada anak-anak kecil yang berlari-lari disekelilingku dengan tawanya, aku bahagia bersama mereka. Aku bahagia menjadi mereka, aku bahagia kalau bisa memiliki mereka. Matanya, senyumnya, tawa, dan mimpi-mimpi mereka yang kian meninggi.
       Aku mereka, aku adalah mereka, aku……………………………………………………………, tertidur.
‘hayyaalasolah’ kumandang adzan itu membuyarkan lekapku, Subhanaloh sudah subuh.
                       Kurapikan selimut, dan menghadap cermin kusisir rambutku sembari kuamati gambar di dnding itu, pucat, dengan hidung pesek, mata sayu dan kulit rusak. Awalnya ingin ku bertanya, tapi  sekilas k temukan jawabnya, ternyata itu aku, he2 ciptaan alloh yang sempurna dengan segala kurang dan lebihnya.
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar