Menjelang
tidur
Angin mulai mengusiku, tek sedetikpun ia
biarkan aku memejamkan mata. Sesekali terkatup tak berapa lama ia bangunkan
kembali. Sebenarnya enggan benar badanku untuk bangun hanya saja, malam tak
beri kesempatan untuk ku terlelap.
Malam mulai menunjukkan kesombongannya,
dengna pekat yang menggelayut dan dingin yang
senantiasa menyelimuti. Dia tk beri kesempatan untukku melupakan penat
siang tadi atau lelahnya perjalanan hari ini. Meski panorama malam menjanjikan
namun enggan pula bagiku untuk keluar dan menikmati keindahan dan keramamian
yang ditawarkan kota kecil ini.
Kota tempat aku mengabdikan diri untuk
beberapa lama. Entah kenapa hari-hari ku terasa sangat berat, beberapa hari
lalu bayangan itu mengelebat kembali. Permintaan sederhana namun begitu berat
untuk ku beri.
Di
rumahku, di sebuah kampong kecil di kabupaten Brebes. Dengan anginnya yang
sejuk dan udara yang menyegarkan. Ada sesosok wajah yang terlalu sering datang
menjelang tidurku. Wajah keriput dengan pipi yang hitam dan pucat, wajahnya
bergambar derita dan beban yang berat. Kata orang wajah itu mirip dengan ku,
tentu saja karena ia ibuku.
Ya ibuku, wanita desa yang bersahaja dan
penuh kasih sayang. Di wajahnya tersirat gambar bayangan anak-anaknya yang
berlari mendaki gunung terjal, kata ibu seperti gunung sebelah timur rumah
kami, gagah, besar dan indah, tapi tak tau seberapa akuhnya dia memperlakukan
kita kalau hendak mencapainya, begitu mimpi kita ujarnya.
Beberapa hari lalu ia menanyakan kembali
pertanyaan sederhana itu di meja makan,
“Kapan
mau mengenalkan dia pada Ibu?” ujar ibu sembari menyyuapkan nasi sisa di
piingnya,
Aku
kaget tak menyangka ibu akan menanyakannya, ingin benar rasanya menjawab
kenyataannya, tapi tetap saja kesombonganku menyekutu mulut ku, seperti biasa
jawaban ini keluar
“ah, ga usah Tanya-tanya itu dulu, lo udah
jodohnya juga pasti datang kemari” sambil beranjak dari duduk dan melangkah k
tengah, tapi ibu juga menyahut perkataanku, “ apa salah ibu ingin tau nasib
anakku, kalo ya ya ia kalo ga ya engga ,,,jangan mai-main lho,” berllau ke
belakang.
Beberapa
hari setelah itu, aku selalu menghindari untuk duduk berdua dengan semua
anggota keluargaku, siapapun itu. Mungkin salah aku juga mengatakan aku sudah
punya pacar, ah salahkah? Tapi apa ada yang perduli dengan ini? Tidak ada.
Siapapun selalu ingin aku yang mengerti, keluarga dan orang itu, apa mereka
tidak berpikir aku juga ingin dimengerti.
Lama sekali bayangan itu bergelebat ,
kadang datang jelas, dan kadang buram. Sudah kucoba tuk memejamkan mata. Tapi
hanya pengap saja. Dentum jam menandakan bergantinya jam membuyarkan bayang itu.
Jam menunjukan pukul 10 malam, tapi mataku tetap tak mau terpejam.
Ku baringkan badanku ke kanan, ah ku
peluk boneka beruang pink pemberian temanku dua tahun yang lalu. Waktu itu kita
berteman akrab, sebelum akhirnya kita tak pernah saling menyapa. Katanya karena
aku egois, tapi salahkan kalu aku tidak mau temanku jadi kekasihku. Hubungan
persahabatan kami mulai renggang saat dia menyatakan ingin melamarku.
Siang itu HP ku berdering, sebuah nama tertera di halaman mukanya. Aku angkat
dan memang sudah terbiasa aku bercakap banyak dengannya.
“hai
Nok, udah masak blum?
“udah
donk, “ jawabku singkat, “ kenapa telfon jam segini? Mang ga ngajar tho Mz?”
suara
dari seberang tampak jelas “enggak, ntar jam terakhir ngajar akidah”
“ntar
diomelin kepala sekolah lho jam kerja telfon, he22,” aku tertawa karena aku
juga tau siapa kepala sekolah tempat temanku ini mengajar, ya dia sendiri he2.
“ah,
dasar loe’ jawabnya tungkas. “Ntar sore aku main ya, kita main tebak-tebakkan”
“ah ga
mau, ngrepotin lu u main kesini, ogah-ogah, ntar biki aku rpot lagi, hufz”
“Eh
ngece ya, ya udah lo ga boleh. Kenapa sie lo aku main ga pernah boleh?” nada
penasaran terdenar jelas dari pertanyaannya. Ah aku sangat malas menjawabnya.
Tiap kali aku menjawab pertanyaan ini sebenarnya sama, tapi entah mengapa di
bertanya lagi, apa dia piker jawabanku akan berubah. Padahal tidak ada
perubahan sampai saat ini.
“ga papa, lha kan tau keadaan desaku
gimana lo ada yang main dikiranya ada apa-apa” jawabku ringkas.
Sebenarnya tidak, bukan itu jawabannya
karena sebenarnya aku tak menyukainya dan tidak mau dia main kerumahku. Padahal
sebenarnya teman-temanku sudah biasa main kerumah, tapi aku tidak pernah
mengijinkn dia main kerumahku. Entahlah, kenapa hatiku begitu keras untuk
mengijinkannya sekedar main kerumahku.
“ya,
kalau kamu takut diomong orang ntar tak lamar, hayo dah siap belum” jawabnya
sekejap setelah aku menjawab.
“what? Slah orang kali ngomong gitu ma
aku, tu lalat aja pada ketawa, tentu saja siap, tapu lho kamu yang nglamar aku
minggat aja dech, he22” tawaku renyah seakan sudah menandakan akupun tak mau
dia jadi lebih dari kawan dalam hidupku.
“ya, minggat mendekat, sini-sini”
“PD
men, ogah lah…” jawabku ketus
“aku ga
ganteng, ga kaya dan bukan siapa-siapa sie ya, makanya kamu ga mau ma aku? Ya
gpp lo gitu” lirih
“he2
serius amat Bang? Lagi mau dapet ya, ko melou gitu, he2” aku terus berkelakar
seakan tak tau apa-apa.
“emang
Mi, kamu tidak pernah menganggap apa yang aku katakan itu kebenaran, selama ini
kamu selau menganggap perkataannku hanya banyoln. Padahal kamu tidak tau harus
seperti apa akau memendamnya karena kau tak mau mengecewakanmu. Tpi kali ini
aku minta serius dengan apa yang aku katakana..” dim sejenak.
Aku tertegun, baru kali ini orang ini
berkata dengan nada memelas, baiasanya penuh tawa dan canda. Aku tak sanggup
untuk menjawab karena aku tau aku akan menyakitinya.
“Mi, boleh ya aku main kerumah?” mulutku
masih tetap tertutup saat pertanyaan ini diujarkannya.
“Halloooo…, ko diem?” aku kaget
mendengar sapaan yang behitu keras itu, dengan kaget dan seketika ku jawab “oh
ya, ya gimana tadi” masih gugup aku mengajukn pertanyaan ini tapi tanggapannnya
berbeda.
“benarkah kau mengingijinkan aku
kerumahmu. oke makasih ya, makasih banget, aku janji sebelum isya aku pulang.
Makasih ya Mi. ya udah lo gitu aku ngajar dulu ya ntar kita sambung, ”
Aku
masih tetap melongo, apa tadi aku jawab ya? Aku juga bingung.
Adzan magrib berkumandang, aku mulai
menata apa yang aku sampaikan kalau dia sampai menyatakan hatinya. Semua
jawaban telah aku siapkan saja.
Benar juga, di datang membawa sesuatu
dank u berikan saja pada ibu tanpa aku ingin tahu apa isinya. Tak berapa lama
kita berbasa-basi diapun mengatakan apa yang ku duga sebelumnya. Tanpa ragu,
akupun mengatakan apa yang sudah ku rencanakan.
Itu terakhir kali aku bertemu dengannya
sampai saat ini. Terakhir aku dengar dia sudah menikah dengan anak kyai dari
salah satu Ponpes di kecamatanku. Sudah punya kehidupan mapan nan mandiri. Syukurlah kalau dia bahagia,
sahabatku yang meninggalkanku karena egoku katanya. Tak seperti aku yang sedng
berusaha untuk berdiri, dan mengerti bahkan untuk sesuatu yang begitu sulit
untuk dimengerti.
Kembali ku betulkan selimutku. Heeh
desah nafasku kini berganti gusar. Jam menunjukkan pukul 24:00, tapi mata ini
tetap tak mau diam. Kembali bayangan yang dulu muncul dan menganggu pikiranku.
Akupun sebenarnya sedang menunggu untuk
dimengerti, dimengerti agar aku tak merasa sepi. Dimengerti oleh mimpi-mimpi
agar aku tak merasa terlalu jauh berlari namun tak ada arti.
Semenit kemudian melintas sesosok wajah
yang tak asing lagi. Aku akan segera tersenyum padanya saat ia ada di hadapku.
Wajah sederhana yang teduh dan tenang, terlalu tenang untuk dimengerti apa yang
ada di benaknya. Wajah yang terlalu tenang higga tak dapat ku raba seberapa
dalamkah ia. Wajah yang tak pernah mau
pergi kala sepi menghampiri, wajah yang memberi sepi kadang tanpa mimpi, wajah
yang melukis mimpi dalam hidupku, wajah yang memintaku untuk tak bermimpi
terlalu tinggi, wajah yang ku nanti sepatah janjinya namun tak jua diucapkan,
wajah yang ku tunggu tuk bernyali, wajah itu………
Dia orang yang mampu membuat aku menanti
meski tak ada yang pasti, meski segalanya masih berupa mimpi, khayalan tinggi
tanpa tepi, sedang kuraih namun kian meningi. Ah wajah itu menyadarkan betapa
manisnya tangisku untuk memohon pada Tuhan, seakan tanpa malu agar Ia
memberikan wajah itu memenuhi mimpiku.
Malam mulai beranjak menuju pagi, mataku
masih tetap tak mau terpejam meski sudah terasa berat namun tetap saja tak mau
mengantarkan aku kelabuhan mimpi. Wajah itu tersenyum lagi, dengan lesung
pipit, mengingatkan aku pada sakitku yang lalu, ada ayahku dan saudara-saudaraku.
Pada ayahku yang berharap ada pastinya
bagiku, atau kakak yang menanti aku agar penantianny berkhir. Kadang ingin aku
mengatakan kenyataan yang sebenarnya ada dalam hiduku tapi aku takut, takut
slah lagi. Bulan lalu ayah bertanya
padaku tentang hal itu dan aku juga hanya diam, karena tak tau apa yang akan ku
katakan
Ah,,
malam ini mengajakku melanglang buana pada masa lalu, pada temanku yang sudah
berlalu. Atau pada anak-anak kecil yang berlari-lari disekelilingku dengan
tawanya, aku bahagia bersama mereka. Aku bahagia menjadi mereka, aku bahagia kalau
bisa memiliki mereka. Matanya, senyumnya, tawa, dan mimpi-mimpi mereka yang
kian meninggi.
Aku
mereka, aku adalah mereka, aku……………………………………………………………, tertidur.
‘hayyaalasolah’
kumandang adzan itu membuyarkan lekapku, Subhanaloh sudah subuh.
Kurapikan
selimut, dan menghadap cermin kusisir rambutku sembari kuamati gambar di dnding
itu, pucat, dengan hidung pesek, mata sayu dan kulit rusak. Awalnya ingin ku
bertanya, tapi sekilas k temukan
jawabnya, ternyata itu aku, he2 ciptaan alloh yang sempurna dengan segala
kurang dan lebihnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar