Pengembangan
Pemahaman Konsep Wacana Narasi Melalui Strategi Pametdia pada Pembelajaran
Bahasa Inggris Siswa Kelas 7 SMP
.
.
Abstract: This article is a report of a one-circle classroom action research
conducted to grade seven or first year of junior high school students of KPS
schools in first semester of academic year 2005-2006. Narrative discourse is
one of discourses that must be given in grade 7 to 9. Therefore the students
must understand the concept of narrative discourse so they can produce spoken
and written language by developing language skills. Building the concept is not
an easy work. It needs long process in which involves many activities and
times. That is understood by curriculum as a principle of mastery learning. The
principle appreciates every student as a unique individual who has different
developmental maturity. The writer decides to design a strategy that is
expected as an effective way to plant the concept of narrative discourse by
modifying the media and methods called “Pametdia” Strategy (Combining of
various methods and media Strategy). The result showed that the research
subject succeeded reaching the target (75%) for language skill. It means they
understand the concept of narrative discourse and use it to communicate with
others.
.
.
Pendekatan pembelajaran dalam
kurikulum 2004 diarahkan pada upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam
mengelola hasil belajar (kompetensi) yang paling sesuai dengan kondisi
masing-masing. Dengan demikian proses belajar lebih mengacu pada bagaimana
siswa belajar dan bukan pada apa yang dipelajari (Depdiknas, 2004).
Sejalan dengan tuntutan tersebut
mengharuskan setiap praktisi pendidikan, dalam hal ini guru terus berinovasi
dan berkreasi dalam mengembangkan strategi pembelajaran. Bahasa Inggris sebagai
salah satu mata pelajaran yang disiapkan sebagai penunjang kecakapan verbal,
diharapkan dapat menjadi media bagi siswa dalam memahami dan menanggapi setiap
perkembangan informasi dan pengetahuan di sekitar mereka.
Karakteristik Kurikulum bahasa
Inggris Sekolah Menengah Pertama menunjukkan bahwa bahasa Inggris merupakan
alat komunikasi lisan dan tertulis. Hal itu diartikan sebagai upaya untuk
memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran dan perasaaan dengan cara lisan
dan tertulis. Dengan memberikan kemampuan berkomunikasi atau kompetensi wacana
diharapkan pemahaman dan penciptaan berbagai teks menjadi fokus pembelajaran
(Depdiknas, 2005).
Wacana narasi adalah salah satu
bentuk wacana yang harus dikenalkan kepada siswa mulai kelas 7 sampai dengan
kelas 9. Dengan standar kompetensi yang diharapkan di kelas 7 adalah
berkomunikasi secara lisan dan tertulis dengan menggunakan ragam bahasa yang
sesuai dengan lancar dan akurat dalam wacana monolog pendek berbentuk narasi
sederhana. Penulis mencoba memikirkan sebuah strategi yang diharapkan akan
membantu memahamkan konsep wacana narasi bagi siswa kelas 7 sehingga mereka
dapat menghasilkan bahasa lisan dan tertulis melalui empat keterampilan bahasa
yang dikembangkan.
Di sisi lain
penulis sepenuhnya menyadari bahwa menanamkan konsep dasar pada
siswa bukanlah semudah membalikkan telapak tangan dan bukanlah merupakan suatu
kegiatan singkat yang serta merta dapat dilihat hasilnya. Membentuk konsep
adalah sebuah proses panjang yang membutuhkan berbagai kegiatan dan waktu yang
lama. Hal tersebut yang kemudian dipahami oleh kurikulum 2004 sebagai konsep
belajar tuntas karena siswa dihargai sebagai individu yang memiliki perbedaan
kematangan dalam menerima sebuah konsep. Oleh karena itu penulis mencoba
mengadopsi prinsip pendekatan pembelajaran akselerasi yang mementingkan
keluwesan, menyenangkan, mementingkan tujuan, manusiawi, bekerjasama, mengasuh,
mementingkan aktivitas, multi indrawi dan menggunakan ragam metode dan media
(Meier, 2002) sebagai landasan dalam strategi tersebut.
Berdasarkan pemikiran tersebut,
penulis kemudian merancang sebuah strategi yang menggabungkan beberapa metode
dan media. Keragaman metode akan memberikan pengalaman yang berbeda sehingga
memberi peluang yang besar bagi siswa untuk berperan didalamnya. Sedangkan
keragaman media akan memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami karena
keterlibatan seluruh inderanya.
Dewasa ini pengunaan multi media
dalam penyampaian informasi telah dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia
yang dampaknya sangat besar membantu mengubah perilaku masyarakat. Salah satu
contoh adalah tayangan-tayangan yang disiarkan di layar lebar maupun layar
kaca, disadari atau tidak dapat membantu membentuk perilaku penontonnya. Remaja
yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat, adalah subjek mudah menerima
dampak positif dan negatif dari media. Oleh sebab itu penulis mencoba
memanfaatkan daya tarik media (media pemberi pengaruh tercepat) yang diarahkan
secara positif.
Perpaduan tersebut di atas diset
menjadi satu strategi yang terintegrasi untuk memberi pengalaman belajar yang
menarik dan kemudian dapat membantu menanamkan konsep dalam wacana narasi
dengan mudah. Agar memudahkan dalam penyebutan, penulis memberi nama metode
tersebut dengan “Strategi Pametdia” (Strategi Paduan berbagai Metode dan Media).
Strategi ini dikemas berdasarkan
strata berpikir siswa, dari yang mudah kepada yang lebih kompleks dengan
mempertimbangkan keterampilan lisan lebih dahulu tercapai kemudian selanjutnya
kepada keterampilan tulisan. Seperti halnya yang dianut oleh teori pendapatan
bahasa (Language Acquisition) bahwa seseorang yang mendapatkan atau menguasai
bahasa target akan melalui proses yang sama seperti layaknya seorang anak yang
belajar bahasa ibu. Ia mendengar, menirukan, merangkaikan lalu kemudian
menggunakannya dalam situasi tertentu selanjutnya ia mulai belajar mengenal
huruf, merangkai dalam kata, prase, kalimat, paragrap yang kemudian berkembang
sesuai kematangan berpikirnya. Penulis mengharapkan siswa dalam menggunakan
semua potensi kognitif, afektif, dan spikomotorik yang terdapat dalam dirinya
sehingga seluruh potensi tersebut dapat terasah secara baik dan dapat
mengembangkan kecerdasan ganda mereka.
Dari urasian di atas maka muncul
masalah yaitu dapatkah strategi Pametdia menjadi sebuah pendekatan dalam mengenalkan
konsep wacana narasi secara lisan dan tertulis pada siswa?
Dalam penelitian ini penulis
mengenalkan cerita yang digunakan sebagai sumber teks adalah dongeng dan
legenda dari dalam dan luar negeri. Teks yang dipilih penulis sebagai
sebagai contoh dalam pembelajaran adalah dongeng Snow White atau Putri Salju.
Indikator yang di tetapkan
sebagai acuan keberhasilan pemahaman konsep adalah bila siswa dapat
mengkomunikasikan sebuah cerita secara lisan dan tertulis yang melibatkan empat
keterampilan bahasa yaitu mendengar (listening), berbicara (speaking), membaca
(reading), dan menulis (writing).
METODE
Penelitian ini adalah sebuah
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi
siswa kelas 7 dalam memahami wacana naratif dan kemampuan dasar agar
menghasilkan wacana naratif sederhana baik lisan maupun tulis. PTK ini dimulai
dengan merencanakan kegiatan yang akan dilakukan dalam kelas, metode, dan media
apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan tersebut, penilaian apa saja
yang dapat kita lihat selama berlangsung kegiatan, serta memikirkan alternatif
kegiatan lain sebagai pelengkap kegiatan sebelumnya. Bila dalam pelaksanaan
penelitian, penulis menemukan hambatan atau salah satu metode tidak dapat
dilaksanakan sesuai rencana atau menghambat tujuan yang ingin dicapai maka
metode tersebut akan diperbaiki dalam siklus selanjutnya.
PTK ini dilaksanakan di SMP
Nasional KPS Balikpapan kelas 7 yang terdiri dari 4 kelas paralel. Setiap
kelas memiliki jumlah murid yang hampir sama (berkisar 25-26 siswa) dan
memiliki kemampuan bahasa Inggris yang heterogen. Semua kelas mendapatkan
jumlah pertemuan yang sama yaitu 4 jam pelajaran dalam satu minggu. Secara acak
penulis mengambil subjek penelitian yaitu kelas 7-1.
Untuk mengumpulkan data dan
memutuskan keberhasilan siswa dalam memahami dan mendapatkan konsep dasar
wacana naratif, peneliti menggunakan lembar observasi, lembar penilaian
perbuatan dan lembar penilaian hasil.
Strategi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penggunaan gabungan metode pembelajaran yang menggunakan
media (media yang tidak diproyeksikan, audio, dan komputer multimedia) dan
model-model pembelajaran yang akan membantu guru dalam menyampaikan konsep
wacana naratif dan membantu siswa memahami secara benar bentuk wacara naratif
sederhana.
Untuk mencapai standar
kompetensi yang diharapkan oleh kurikulum, siswa harus menguasai atau
menuntaskan beberapa kompetensi dasar yang kemudian oleh penulis dirumuskan
dalam kegiatan-kegiatan yang memfasilitasi siswa untuk membangun
konsepnya sendiri. Dengan pemahaman yang benar akan
membentuk satu kemampuan dasar dalam menghasilkan wacana naratif sedarhana baik
lisan maupun tertulis.
Dalam kurikulum 2004, ada tiga
wacana yang dikenalkan pada siswa kelas 7 yaitu wacana naratif, wacana
deskriptif, dan wacana recount. Peneliti membutuhkan 6 minggu dari 19 minggu
yang disediakan dalam satu semester dan setiap minggu terdiri dari 6 jam
pelajaran sehingga lebih kurang 30 jam pelajaran akan digunakan untuk
melaksanakan penelitian ini.
Keberhasilan penelitian ini
ditentukan oleh banyak faktor yang diantaranya adalah persiapan media dan
desain pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Adapun
mediamedia yang dipersiapkan untuk strategi ini adalah (1) naskah cerita Snow
White yang ditulis ulang dalam bentuk narasi sederhana, terdiri dari 5 paragrap
pendek dan ditulis dalam bahasa sederhana disertai kosakata yang umum, (2)
materi cerita Snow White dalam bentuk kaset yang merupakan hasil rekaman naskah
cerita Snow White yang dibacakan seperti seorang pendongeng, (3) tape recorder
yang digunakan untuk media kaset, (4) in focus (LCD), (5) komputer multimedia
yang didalamnya terdapat gambar Snow White yang dapat digambar sendiri atau
dikopi dari buku atau diambil dari internet, (6) kartu cerita Snow White yang
terdiri dari 8 kartu setiap setnya, bertuliskan kata kunci dalam cerita dan
membentuk alur dan setiap kartu mewakili satu alur cerita, (6) pasangan bentuk
waktu kata kerja yang terbuat dari potongan-potongan kertas yang berisi satu
kata kerja bentuk pertama (present tense) dan kata kerja bentuk kedua (past
tense), dan (7) potongan-potongan kalimat dan paragrap untuk belajar membuat
paragrap yang baik.
Persiapan skenario pembelajaran
yang merupakan pengembangan silabus membantu peneliti melakukan penelitian ini
sesuai dengan arah yang benar. Pembelajaran wacana naratif ini terbagi menjadi
dua siklus. Pertama adalah siklus lisan yang lebih ditekankan pada keterampilan
mendengar dan berbicara. Kedua adalah siklus tertulis yang menekankan pada keterampilan
membaca dan menulis. Pada semua siklus akan diterapkan empat kegiatan yaitu
membangun kerangka konsep (building of knowledge), memberi
materi inti (modelling of text), kerja kelompok (joint of construction), dan
kerja individual (independent of construction).
Perencanaan diatas dilaksanakan
dalam 5 minggu atau 30 jam pelajaran yang diuraikan sebagai berikut.
Pada minggu pertama dimulai
dengan siklus lisan dengan rincian sebagai berikut sebagai berikut: (1) Untuk
membangun kerangka konsep guru mengajukan beberapa pertanyaan seperti “Have you
ever heard or read a legend or fairy-tale?”, “What story have you heard or read
before?” Selanjutnya guru menayangkan sebuah gambar Snow White dan 7 kurcaci
melalui LCD dengan tujuan mengarahkan pada materi pokok. (2) Dari gambar
tersebut guru mengali kosa kata yang mungkin akan muncul dalam cerita dari
siswa dengan tehnik brain stroming, kemudian didiskusikan dengan membenarkan
tulisan dan ucapan yang salah. (3) Siswa dibagi dalam kelompok yang terdiri
dari 4 siswa. Guru menyampaikan bahwa mereka akan mendengarkan cerita tentang
Snow White tetapi sebelum itu mereka akan menerima satu set kartu cerita Snow
White yang harus mereka urutkan sesuai dengan alur cerita Snow White
berdasarkan memori cerita Snow White yang dulu pernah mereka baca atau dengar.
Semua kegiatan tersebut diatas
masuk dalam tahap building kwoledge of text yang bertujuan membangun kerangka
konsep wacana naratif. Selanjutnya dilakukan modelling of text yaitu
mengarahkan siswa ke dalam materi pokok sebagai berikut: (1) setelah
mengurutkan kartu cerita menurut versi siswa, mereka mendengarkan rekaman suara
yang menceritakan Snow White. Dari cerita tersebut siswa menyusun ulang kartu
cerita mereka. (2) Guru bersama siswa membahas susunan kartu cerita dengan cara
mendengarkan kembali rekaman suara sementara guru akan menghentikan rekaman
tersebut pada tiap kata kunci serta mengali pemahaman siswa akan cerita dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan cerita. (3) Sebagai
penguatan, guru dan siswa mendiskusikan nilainilai positif yang terkandung
dalam cerita. (4) Untuk mencairkan suasana, guru mengajak siswa menyanyikan
lagu berbahasa Inggris yang mengajarkan nilai positif (Heal The World oleh
Micheal Jackson). (5) Siswa menyaksikan tayangan cuplikan film Snow White untuk
mengenal struktur generik (langkah-langkah retorik) dari wacana naratif. (6)
Guru membantu mengarahkan siswa untuk dapat menyimpulkan apa yang dimaksud
dengan tahap orientasi, evaluasi, komplikasi, resolusi dan reorientasi.
Pada minggu kedua masih
menggunakan modelling of text dan joint construction sebagai berikut: (1)
Sebagai penguatan dalam pemahaman konsep generik struktur wacana naratif, guru
membacakan teks Snow White dan bersama siswa menentukan langkah-langkah retorik
dari cerita tersebut. (2) Secara berkelompok, siswa kembali diberi kartu cerita
Snow White. Siswa diberi kesempatan untuk mendiskusikan dan berlatih
menceritakan kembali cerita Snow White dengan bantuan kartu cerita Snow White.
Kegiatan ini memberikan pengalaman pada siswa bahwa menceritakan kembali sebuah
cerita dengan mengikuti alurnya akan lebih mudah dilakukan. (3) Untuk
menjelaskan bahwa wacana narasi menggunakan bentuk kalimat past tense, guru
membacakan cerita Snow White dan siswa menyimak sambil menulis kata kerja yang
mereka dengar. Guru mendata kata kerja apa saja yang mereka dapatkan sambil
mengarahkan kepada siswa memahami bahwa wacana cerita menggunakan past tense.
Kegiatan minggu ketiga sebagai
berikut: (1) Masih dalam kelompok, guru membagikan potongan-potongan
kertas yang tertulis kata kerja bentuk pertama dan kedua. Lalu siswa
memasangkan kata kerja tersebut sesuai dengan pasangannya (contoh eat akan
berpasangan dengan ate). (2) Bila mereka tidak menemukan pasangannya mereka
boleh meminta dari kelompok lain dengan mengunakan ekspresi bahasa Inggris
yaitu “Do you have verb ran?”, “No, I don’t have it”, “Sorry. I don’t have it”,
“Yes, I do”, “May I have it?”, “Ok”, “Of course”, “With my pleasure”. Kegiatan
ini bertujuan untuk melatih interaksi sosial yang lebih santun. (3) Guru
bersama seluruh siswa mendiskusikan hasil kerja tiap kelompok dan mereka
diminta memisahkan kata kerja yang diakhiri dengan “ed” sehingga tanpa mereka
sadari mereka menemukan sendiri apa yang disebut kata kerja beraturan (regular
verb) dan tidak beraturan (irregular verb). (4) Setelah selesai siswa diberi
waktu 5 menit untuk melihat dan mempelajari pasangan kata yang mereka miliki.
(5) Sambil mengumpulkan kembali pasangan kata, guru memberi satu lembar kertas
untuk tiap kelompok dengan perintah menulis ulang pasangan kata yang telah
mereka ketahui. (6) Siswa mendatangi kelompok lain untuk saling berbagi
pasangan kata, sehingga tiap kelompok akan memiliki pasangan
kata yang lebih banyak. Di sini siswa diajarkan untuk saling mendukung,
mendapatkan ilmu, dan berhasil bersamasama. (7) Kegiatan dilanjutkan dengan
mengerjakan lembar kerja yang berisi latihan mengubah kalimat yang bertensis
present menjadi kalimat bertensis past.
Pada minggu
keempat tahapan joint construction masih dilanjutkan dan
diikuti tahap Independent Construction sebagai berikut: (1) Bersama siswa guru
mereview kembali pemahaman langkah retorika dan bentuk waktu yang digunakan
dalam wacana naratif. (2) Siswa dalam kelompok diberi kembali kartu cerita Snow
White. Mereka diberi kebebasan untuk mengembangkan bagian-bagian dari cerita
Snow White. (3) Dengan bantuan kartu cerita mereka menceritakan kembali Snow
White menurut versi mereka. (4) Untuk tugas perorangan siswa diberi waktu untuk
menentukan cerita yang akan mereka sampaikan di depan kelas. Bahan dapat
ditemukan di perpustakaan kelas dan perpustakaan sekolah. (5) Siswa
berkonsultasi kepada guru. (6) Siswa melakukan presentasi didepan kelas.
Pada minggu keempat, penulis
memulai siklus tertulis yang dimulai dengan tahap modelling of text, kemudian
dilanjutkan dengan Joint and Independent Contruction sebagai berikut: (1)
Secara berpasangan siswa mengerjakan lembar kerja yang berisi 2 tugas yang
masing-masing terdiri dari 5 kalimat acak yang harus disusun menjadi sebuah
paragrap yang baik. (2) Siswa berdiskusi dibantu dengan guru untuk dapat
menentukan ide pokok dan kalimat pendukung dalam sebuah paragrap. (3) Siswa
perpasangan menentukan ide pokok dan pendukung paragrap dalam LKS mereka,
kemudian mereka diskusikan dengan pasangan lainnya sehingga menjadi kelompok
yang terdiri dari empat siswa. Hasil didiskusikan bersama. (4) Siswa diberi
amplop yang berisi potongan paragrap acak yang harus disusun menjadi sebuah
teks cerita yang baik. Setelah itu siswa diminta menemukan ide pokok dan
pendukung dalam tiap paragrap. Hasil di diskusikan bersama. (5) Sebagai
kegiatan individu siswa diminta menuliskan lima ide pokok, yang setiap ide
pokok mewaliki tiap langkah retorika dalam cerita mereka. Cerita yang digunakan
adalah cerita yang telah mereka cari dan ceritakan sebelumnya di siklus lisan.
Contoh; siswa harus menuliskan satu ide pokok untuk langkah orientasi atau
pembuka cerita sebagai paragraf pertama, demikian seterusnya sampai paragrap
kelima. (6) Dari hasil tersebut di atas, siswa diminta mengembangkan ide
tersebut menjadi satu teks cerita sederhana dan utuh dengan menggunakan bahasa
mereka sendiri. (7) Sepanjang pembuatan ide pokok dan menjabarkannya dalam
tulisan sederhana, siswa berkonsultasi dan dipandu guru.
Penulis menggunakan pengamatan
untuk mengumpulkan data sebagai dasar penilaian bagi siswa ataupun penulis
sendiri. Pada siswa pengamatan dilakukan untuk mendapatkan penilaian yang
terintegrasi. Lembar pengamatan yang digunakan penulis terdiri dari dua bagian.
Yang pertama lembar pengamatan yang berfungsi sebagai penilaian sikap siswa
yang berkelanjutan seperti pengamatan dalam kerja kelompok (keaktifan, peran
serta, kerjasama) dan kedua proses kerja (ide, mengekspresikan ide,
keruntutan).
Untuk memudahkan dalam
pengamatan yang berlangsung pada saat KBM, penulis menggunakan simbol-simbol;
bintang (*) untuk kategori baik sekali, lingkaran penuh (●) untuk kategori
baik, lingkaran tidak penuh (◘) untuk kategori sedang, dan lingkaran kosong (○)
untuk kategori kurang.
Penilaian ini digunakan untuk
menentukan ketuntasan belajar siswa. Pengamatan tidak hanya dititikberatkan
pada apa yang dilakukan siswa pada saat melalui proses belajar dan pada hasil
belajarnya, tetapi juga pada stategi, metode, dan model yang digunakan dalam
penelitian ini. Sehingga bila di dalam pelaksanaan ditemukan kegiatan atau
metode yang tidak berjalan seperti yang diharapkan, peneliti akan segera
merevisi atau bahkan mengganti dengan metode yang baru.
Selama pelaksanaan penelitian
penulis selalu menilai dan memperbaiki langkah langkah yang tidak sesuai dengan
rencana yang telah ditetapkan. Hal ini terjadi pada kegiatan presentasi di
minggu keempat, ternyata siswa hanya menghapal ringkasan cerita yang mereka
buat, sehingga tujuan untuk memberi pengalaman siswa bercerita dengan bahasanya
sendiri tidak tercapai. Oleh sebab itu penulis mengubah taktik dengan mengulang
kegiatan di minggu kelima.
Pada minggu kelima siswa diberi
kesempatan untuk mengulang kegiatan sebagai berikut: (1) Guru memandu siswa
secara klasikal untuk menemukan langkah retorika pada cerita Snow White
kemudian mengekspresikannya dengan bahasa yang sederhana. (2) Siswa
membuat kartu cerita yang berisi langkah retorika cerita yang telah dibaca. (3)
Siswa mengkonsultasikan pada guru. (4) Siswa menggunakan kartu ceritanya untuk
bercerita di depan kelas. (5) Secara berpasangan siswa mengerjakan lembar kerja
yang berisi 2 tugas yang masing-masing terdiri dari 5 kalimat acak yang harus
disusun menjadi sebuah paragrap yang baik. (6) Siswa berdiskusi dibantu
dengan guru untuk dapat menentukan ide pokok dan kalimat pendukung dalam sebuah
paragrap.
Kegiatan tersebut mengawali
siklus ke dua dalam penelitian ini. Karena mengubah tindakan, maka waktu yang
dibutuhkan pun bertambah satu minggu untuk menyelesaikan kegiatan yang telah
dirancang sebelumnya.
HASIL
Keseluruhan hasil dapat dilihat
pada ilistrasi gambar berikut. Gambar 1 menjelaskan bahwa dari 25 siswa yang
berada di kelas 7-1, prosentasi tertinggi sebesar 28% atau 7 siswa mendapatkan
nilai di bawah 90 dan 32% atau 8 siswa mendapatkan skor di bawah 70 sedangkan
selebihnya mendapatkan nilai di atas 69 dan 90 sebesar 16% dan 24%.
.
.
Merujuk pada data di atas dapat
dikatakan bahwa dalam pembelajaran listening tidak tercapai ketuntasan secara
klasikal karena 32% atau 8 siswa masih mendapat nilai di bawah 70.
Ketidaktuntasan ini mungkin disebabkan kurangnya aktifitas listening yang
muncul dalam strategi Pametdia.
Gambar 2 memperlihatkan siswa
yang mendapat rentang nilai 70-79 pada presentase tertinggi yaitu 36% sedangkan
20% siswa mendapat nilai di bawah 70. Siswa yang mendapat rentang nilai 80-100
sebanyak 44%. Berdasarkan itu dapat disimpulkan bahwa pada pembelajaran
speaking, siswa telah mencapai ketuntasan klasikal sebesar 80%.
.
.
Gambar 3 menyajikan secara jelas
prosentase ketuntasan siswa yang mendapat rentang nilai 70-100 sebesar 76%
sedangkan jumlah siswa yang mendapat nilai di bawah 70 sebanyak 24%. 24% siswa
yang mewakili ketidaktuntasan individu tersebut tidak dapat diarti sebagai
ketidaktuntasan secara klasikal karena jumlahnya masih dibawah 30% sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada pembelajaran reading siswa yang telah mencapai
ketuntasan secara klasikal sebanyak 76%.
.
.
Gambar 4 menunjukkan 20%
siswa mendapat nilai di bawah 70 sedangkan 80% lainnya mendapatkan
rentang nilai 70-100. Hal ini menbuktikan bahwa pada pembelajaran writing
ketuntasan belajar telah tercapai sebanyak 80%.
.
.
Dari hasil keempat diagram
sebelumnya dapat digambarkan pada diagram batang di bawah. Diagram ini
menjelaskan bahwa dari pembelajaran empat keterampilan bahasa, siswa yang
mendapatkan nilai di bawah 70 mencapai presentasi tertinggi sebesar 32% ada
pada pembelajaran listening. Siswa yang mendapat rentang nilai 70-79 mencapai
36% pada pembelajaran speaking dan writing. Terlihat kestabilan jumlah siswa
yang mendapatkan rentang nilai 80-89 pada pembelajaran speaking, reading dan
writing sebesar 32%. Demikian halnya untuk jumlah siswa yang mendapat rentang
nilai 90-100 terlihat stabil pada pembelajaran speaking, reading, dan writing
yaitu sebesar 12%. Ketidaktuntasan secara klasikal terjadi
pada pembelajaran listening yang mencapai 32% siswa. Siswa mencapai ketuntasan
ketrampilan bahasa speaking, reading, dan writing adalah 76-80%.
Ketidaktuntasan pembelajaran hanya terjadi pada 1 keterampilan (25%) dari 4
ketrampilan (100%), maka ketuntasan pembelajaran wacana narasi yang dicapai
siswa baik secara individu dan klasikal sebesar 75%.
.
.
Ketuntasan ini dapat tercapai
karena strategi ini memberi banyak kesenangan, kemudahan dan keragaman
aktifitas sehingga siswa lebih berani mengeksplorasi potensinya secara
akademik. Strategi ini juga dirancang untuk mengasah kecerdasan majemuk
(multipel intelegensi) siswa. Pada kegiatan kelompok diarahkan untuk mengasah
kecerdasan interpersonal dan intra personal siswa, kegiatan melihat
gambar atau potongan film untuk kecerdasan visual sedangkan kegiatan presentasi
dapat mengasah kecerdasan verbal dan ketika memasang kata atau kalimat siswa
dilatih untuk mengasah kecerdasan logika. Walaupun membutuhkan waktu yang
panjang, kegiatan dalam strategi ini dapat membuat penulis melihat kelemahan
yang paling mendasar pada siswa sehingga penulis dapat merencanakan design
pembelajaran selanjutnya sebagai pembelajaran yang berkelanjutan.
KESIMPULAN
Multi Media Strategy sebagai
sebuah strategi pembelajaran yang menggabungan beberapa metode (kerja kelompok,
mencari informasi, meringkas dan menyimpulkan informasi, unjuk kerja, dan
portofolio) dan beberapa media (komputer multi media, kartu cerita, pasangan
kata dan paragrap, media audio), menunjukkan telah berhasil mengenalkan konsep
wacana narasi sehingga siswa dapat mengkomunikasikan wacana tersebut secara
lisan dan tertulis. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah presentase siswa yang
mencapai ketuntasan pembelajaran wacana narasi sebesar 75%.
SARAN
Untuk keberhasilan pengenalan
konsep wacana narasi disarankan sebaiknya menggunakan Multi Media Strategy
sebagai sebuah strategi yang efektif. Kesulitan mendapatkan komputer media
dapat diganti dengan gambar, beberapa gambar yang disusun berdasarkan cerita
dan teks materi yang diketik. Untuk pengganti tape dan kaset, guru membacakan
teks cerita sebagai sumber bunyi yang didengar siswa.