Rabu, 08 April 2009

makanan

RESEP MASAKAN MAKARONI PANGGANG


RESEP MASAKAN MAKARONI PANGGANG

Bahan:

1 buah bawang bombai, cincang

2 sendok makan margarine

200 gram daging, cincang

200 gram macaroni, rebus dan tiriskan

6 butir telur

¼ butir pala, haluskan

200 ml susu cair

150 gram keju parut

Garam dan lada secukupnya

Cara Membuat Resep Masakan Makroni Panggang:

1. Panaskan margarine, tumis bawang bombai hingga harum. Masukkan daging,

Masak hingga berubah warna

2. Campur daging cincang, macaroni rebus, susu cair, telur, 50 gram keju parut,

Lada, pala dan garam, aduk rata. Tuang kedalam loyang yang telah diolesi

Margarine. Taburi atasnya dengan taburan keju

3. Panggang dalam oven selama 45 menit atau hingga matang. Angkat dan

Keluarkan dari loyang. Potong-potong dan siap untuk disajikan. Untuk 8 porsi

resep makanan

RESEP MASAKAN MAKARONI PANGGANG



-->
RESEP MASAKAN MAKARONI PANGGANG
Bahan:
1 buah bawang bombai, cincang
2 sendok makan margarine
200 gram daging, cincang
200 gram macaroni, rebus dan tiriskan
6 butir telur
¼ butir pala, haluskan
200 ml susu cair
150 gram keju parut
Garam dan lada secukupnya
Cara Membuat Resep Masakan Makroni Panggang:
1. Panaskan margarine, tumis bawang bombai hingga harum. Masukkan daging,
Masak hingga berubah warna
2. Campur daging cincang, macaroni rebus, susu cair, telur, 50 gram keju parut,
Lada, pala dan garam, aduk rata. Tuang kedalam loyang yang telah diolesi
Margarine. Taburi atasnya dengan taburan keju
3. Panggang dalam oven selama 45 menit atau hingga matang. Angkat dan
Keluarkan dari loyang. Potong-potong dan siap untuk disajikan. Untuk 8 porsi

karangan narasi

-->

KARANGAN NARASI DENGAN SEGALA MACAMNYA

Caray


1. Pengertian Karangan Narasi
Narasi merupakan bentuk percakapan atau tulisan yang bertujuan menyampaikan atau menceritakan rangkaian peristiwa atau pengalaman nmanusia berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu (Semi, 2003:29).
Narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca tentang suatu peristiwa yang telah terjadi (Keraf, 2000:136). Dari dua pengertian yang diungkapkan oleh Atarsemi dan Keraf. Dapat kita ketahui bahwa narasi berusaha menjawab sebuah proses yang terjadi tentang pengalaman atau peristiwa manusia dan dijelaskan dengan rinci berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu.
Narasi adalah suati karangan yang biasanya dihubung0hubungkan dengan cerita. Oleh sebab itu sebuah karangan narasi atau paragraf narasinya hanya kita temukan dalam novel. Cerpen, atau hikayat (Zaenal Arifin dan Amran Tasai, 2002:130). Narasi adalah karangan kisahan yang memaparkan terjadinya sesuatu peristiwa, baik peristiwa kenyataan, maupun peristiwa rekaan (Rusyana, 1982:2).
Dari pendapat- pendapat di atas, dapat diketahui ada beberapa halyang berkaitan dengan narasi. Hal tersebut meliputi: 1.) berbentuk cerita atau kisahan, 2.) menonjolkan pelaku, 3.) menurut perkembangan dari waktu ke waktu, 4.) disusun secara sistematis.
2. Ciri-ciri Karangan Narasi
Menurut Keraf (2000:136)
- Menonjolkan unsur perbuatan atau tindakan.
- dirangkai dalam urutan waktu.
- berusaha menjawab pertanyaan, apa yang terjadi?
- ada konfiks.
Narasi dibangun oleh sebuah alur cerita. Alur ini tidak akan menarik jika tidak ada konfiks. Selain alur cerita, konfiks dan susunan kronlogis, ciri-ciri narasi lebih lengkap lagi diungkapkan oleh Atar Semi (2003: 31) sebagai berikut:
Berupa cerita tentang peristiwa atau pengaalaman penulis.
Kejadian atau peristiwa yang disampaikan berupa peristiwa yang benar-benar terjadi, dapat berupa semata-mata imajinasi atau gabungan keduanya.
Berdasarkan konfiks, karena tanpa konfiks biasanya narasi tidak menarik.
Memiliki nilai estetika.
Menekankan susunan secara kronologis.
Ciri yang dikemikakan Keraf memiliki persamaan dengan Atar Semi, bahwa narasi memiliki ciri berisi suatu cerita, menekankan susunan kronologis atau dari waktu ke waktu dan memiliki konfiks. Perbedaannya, Keraf lebih memilih ciri yang menonjolkan pelaku.
3. Tujuan menulis karangan narasi secara fundamental yaitu:
1.) Hendak memberikan informasi atau wawasan dan memperluas pengetahuan,
2.) memberikan pengalaman estetis kepada pembaca.
4. Langkah-langkah menulis karangan narasi
1.) Tentukan dulu tema dan amanat yang akan disampaikan
2.) tetapkan sasaran pembaca kita
3.) rancang peristiwa-peristiwa utama yang akan ditampilkan dalam bentuk skema alur
4.) bagi peristiwa utama itu ke dalam bagian awal, perkembangan, dan akhir cerita
5.) Rincian peristia-peristiwa uatama ke dalam detail-detail peristiwasebagai pendukung cerita
6.) susun tokoh dan perwatakan, latar, dan sudut pandang.
5. Jenis-jenis Karangan Narasi
a. Narasi Ekspositorik (Narasi Teknis)
Narasi Ekspositorik adalah narasi yang memiliki sasaran penyampaian informasi secara tepat tentang suatu peristiwa dengan tujuan memperluas pengetahuan orang tentang kisah seseorang. Dalam narasi ekspositorik, penulis menceritakan suatu peristiwa berdasarkan data yang sebenarnya. Pelaku yang ditonjolkan biasanya, satu orang. Pelaku diceritakan mulai dari kecil sampai saat ini atay sampai terakhir dalam kehidupannya. Karangan narasi ini diwarnai oleh eksposisi, maka ketentuan eksposisi juga berlaku pada penulisan narasi ekspositprik. Ketentuan ini berkaitan dengan penggunaan bahasa yang logis, berdasarkan fakta yang ada, tidak memasukan unsursugestif atau bersifat objektif.
b. Narasi Sugestif
Narasi sugestif adalah narasi yang berusaha untuk memberikan suatu maksud tertentu, menyampaikan suatu amanat terselubung kepada para pembaca atau pendengar sehingga tampak seolah-olah melihat

PENILAIAN RANAH PSIKOMOTORIK SISWA

A. Pendahuluan
Penilaian merupakan suatu kegiatan yang tak mungkin dipisahkan dari kegiatan pendidikan dan pengajaran secara umum. Semua kegiatan pendidikan yang dilakukan harus selalu diikuti atau disertai dengan kegiatan penilaian. Mengingat kegiatan pendidikan dan pengajaran merupakan suatu proses, yaitu proses mencapai sejumlah tujuan yang telah ditetapkan, maka penilaian yang dilakukan harus juga merupakan proses. Penilaian dapat diartikan sebagai suatu proses untuk mengukur kadar pencapaian tujuan. Pengertian ini sesuai dengan pendapat Tuckman dalam Burhan Nurgiyantoro yang mengartikan penilaian sebagai suatu proses untuk mengetahui (menguji) apakah suatu kegiatan, proses kegiatan, keluaran suatu program telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah ditentukan (2001:5).
Pasal 25 (4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menjelaskan bahwa kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ini berarti bahwa pembelajaran dan penilaian harus mengembangkan kompetensi peserta didik yang berhubungan dengan ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan), dan psikomotor (keterampilan). Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, komponen atau unsur kebahasaan yang dinilai adalah meliputi hal-hal yang menjadi cakupan pengajaran bahasa. Cakupan pengajaran bahasa meliputi kompetensi kebahasaan, keterampilan berbahasa, dan kesusasteraan.
Kompetensi kebahasaan berkaitan dengan pengetahuan tentang sistem bahasa, tentang stuktur, dan kosa kata. Keterampilan berbahasa dibedakan menjadi dua kelompok, yakni kemampuan memahami (comprehension) dan mempergunakan (production), masing-masing bersifat reseptif dan produktif. Menurut Harris dalam Burhan Nurgiyantoro kemampuan reseptif merupakan proses decoding, proses usaha memahami apa yang dituturkan orang lain. Sebaliknya, kemampuan produktif merupakan proses encoding, proses usaha mengkomunikasikan ide, pikiran, atau perasaan melalui bentuk-bentuk kebahasaan (2001:167).
Untuk menilai kemampuan atau pencapai tujuan pembelajaran bahasa dikenal berbagai jenis tes kebahasaan yakni pertama bersifat diskrit yaitu tes yang hanya menekankan atau menyangkut satu aspek kebahasaan pada satu waktu (2001:169). Kedua bersifat integrative yakni mengukur kemampuan siswa mempergunakan berbagai aspek kebahasaan atau beberapa keterampilan berbahasa. Ketiga, pragmatic merupakan suatu pendekatan dalam tes keterampilan (skills) berbahasa untuk mengukur seberapa baik siswa mempergunakan elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata, dan keempat, tes komunikatif merupakan tes pragmatic yang lebih menekankan pada ketegasan dan kejelasan konteks, kejelasan yang tegas antara tes bahasa dengan aspek dan situasi-kondisi faktual dalam berkomunikasi.
Sebagaimana telah dibahas oleh kelompok sebelumnya tentang penilaian pada ranah afektif dan kognitif, maka dalam pembahasan makalah kelompok kami akan membahas penilaian dalam ranah psikomotorik.
B. Penilaian Psikomotorik
Berkaitan dengan psikomotor, Bloom (1979) berpendapat bahwa ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Singer (1972) menambahkan bahwa mata pelajaran yang berkaitan dengan psikomotor adalah mata pelajaran yang lebih beorientasi pada gerakan dan menekankan pada reaksi–reaksi fisik dan keterampilan tangan. Keterampilan itu sendiri menunjukkan tingkat keahlian seseorang dalam suatu tugas atau sekumpulan tugas tertentu.
Menurut Mardapi (2003), keterampilan psikomotor ada enam tahap, yaitu: gerakan refleks, gerakan dasar, kemampuan perseptual, gerakan fisik, gerakan terampil, dan komunikasi nondiskursif. Gerakan refleks adalah respons motorik atau gerak tanpa sadar yang muncul ketika bayi lahir. Gerakan dasar adalah gerakan yang mengarah pada keterampilan komplek yang khusus. Kemampuan perseptual adalah kombinasi kemampuan kognitif dan motorik atau gerak. Kemampuan fisik adalah kemampuan untuk mengembangkan gerakan terampil. Gerakan terampil adalah gerakan yang memerlukan belajar, seperti keterampilan dalam olah raga. Komunikasi nondiskursif adalah kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan gerakan.
Buttler (1972) membagi hasil belajar psikomotor menjadi tiga, yaitu: specific responding, motor chaining, rule using. Pada tingkat specific responding peserta didik mampu merespons hal-hal yang sifatnya fisik, (yang dapat didengar, dilihat, atau diraba), atau melakukan keterampilan yang sifatnya tunggal, misalnya memegang raket, memegang bed untuk tenis meja. Pada motor chaining peserta didik sudah mampu menggabungkan lebih dari dua keterampilan dasar menjadi satu keterampilan gabungan, misalnya memukul bola, menggergaji, menggunakan jangka sorong, dll. Pada tingkat rule using peserta didik sudah dapat menggunakan pengalamannya untuk melakukan keterampilan yang komplek, misalnya bagaimana memukul bola secara tepat agar dengan tenaga yang sama hasilnya lebih baik.
Dave (1967) dalam penjelasannya mengatakan bahwa hasil belajar psikomotor dapat dibedakan menjadi lima tahap, yaitu: imitasi, manipulasi, presisi, artikulasi, dan naturalisasi. Imitasi adalah kemampuan melakukan kegiatan-kegiatan sederhana dan sama persis dengan yang dilihat atau diperhatikan sebelumnya. Contohnya, seorang peserta didik dapat mengulang pengucapan sebuah kata setelah gurunya mengucapkan sebelumnya. Manipulasi adalah kemampuan melakukan kegiatan sederhana yang belum pernah dilihat tetapi berdasarkan pada pedoman atau petunjuk saja. Sebagai contoh, seorang peserta didik dapat menulis menginterpretasi gambar dalam sebuah karangan hanya berdasarkan pada petunjuk guru atau teori yang dibacanya.
Sebagaimana dijelaskan beberapa pakar di atas, ranah psikomotorik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan aktifitas otot, fisik, atau gerakan-gerakan anggota badan. Keluaran hasil belajar yang bersifat psikomotoris adalah keterampilan-keterampilan gerak tertentu yang diperoleh setelah mengalami peristiwa belajar. Pengertian “keterampilan gerak” tersebut hendaknya senantiasa dikaitkan dengan “gerak” keterampilan atau penampilan yang sesuai dengan bidang study yang diajarkan. Oleh karena itu, “gerak” –an otot sebagai hasil belajar sastra, tentu saja, akan berbeda gerakan otot sebagai hasil belajar bidang keolahragaan, misalnya.
Penilaian hasil tes belajar psikomotoris harus juga dilakukan dengan alat tes yang berupa tes perbuatan. Penilaian dilakukan dengan jalan pengamatan. Tes psikomotorik kesastraan misalnya-walau tetap ada unsur kognitif dan sikap karena yang utama adalah kadarnya-tugas berdeklamasi, membaca puisi, cerpen, drama (kesemuanya dengan gerak mimic dan pantomimic), dramatisasi (bentuk yang lebih sungguhan: pentas drama), dan lain-lain. Untuk melakukan pengamatan, terlebih dahulu kita perlu menentukan aspek-aspek yang dinilai sekaligus criteria penilaiannya. Aspek-aspek yang dinilai untuk beberapa contoh di atas misalnya pemahaman, penghayatan, intonasi, ekspresi, kewajaran, dan sebagainya. Sedang criteria penilaiannya misalnya mempergunakan angka terendah 40 dan tertinggi 100.
Penilaian terhadap aspek perbuatan tersebut menuntut kita untuk bertindak dan bersikap teliti terhadap tiap jenis penampilan siswa. Karena sifatnya yang kompleks, seperti halnya ranah afektif di atas, penilaian ranah psikomotor sebaiknya dilakukan dalam proses, yaitu sewaktu pengajaran masih berlangsung. Penilaian tak harus dilakukan secara khusus, dalam arti menyelenggarakan tes itu, melainkan dapat bersifat kesewaktuan dan kapan saja. Penilaian ini akan lebih mencerminkan penampilan dan sikap siswa sesungguhnya.
C. Pembelajaran Psikomotor
Menurut Ebel (1972), ada kaitan erat antara tujuan yang akan dicapai, metode pembelajaran, dan evaluasi yang akan dilaksanakan. Oleh karena ada perbedaan titik berat tujuan pembelajaran psikomotor dan kognitif maka strategi pembelajarannya juga berbeda. Menurut Mills (1977), pembelajaran keterampilan akan efektif bila dilakukan dengan menggunakan prinsip belajar sambil mengerjakan (learning by doing). Leighbody (1968) menjelaskan bahwa keterampilan yang dilatih melalui praktik secara berulang-ulang akan menjadi kebiasaan atau otomatis dilakukan.
Sementara itu Goetz (1981) dalam penelitiannya melaporkan bahwa latihan yang dilakukan berulang-ulang akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemahiran keterampilan. Lebih lanjut dalam penelitian itu dilaporkan bahwa pengulangan saja tidak cukup menghasilkan prestasi belajar yang tinggi, namun diperlukan umpan balik yang relevan yang berfungsi untuk memantapkan kebiasaan. Sekali berkembang maka kebiasaan itu tidak pernah mati atau hilang.
Sementara itu, Gagne (1977) berpendapat bahwa kondisi yang dapat mengoptimalkan hasil belajar keterampilan ada dua macam, yaitu kondisi internal dan eksternal. Untuk kondisi internal dapat dilakukan dengan cara (a) mengingatkan kembali bagian dari keterampilan yang sudah dipelajari, dan (b) mengingatkan prosedur atau langkah-langkah gerakan yang telah dikuasai.
Sementara itu untuk kondisi eksternal dapat dilakukan dengan (a) instruksi verbal, (b) gambar, (c) demonstrasi, (d) praktik, dan (e) umpan balik. Dalam melatihkan kemampuan psikomotor atau keterampilan gerak ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar pembelajaran mampu membuahkan hasil yang optimal. Mills (1977) menjelaskan bahwa langkah-langkah dalam mengajar praktik adalah (a) menentukan tujuan dalam bentuk perbuatan, (b) menganalisis keterampilan secara rinci dan berurutan, (c) mendemonstrasikan keterampilan disertai dengan penjelasan singkat dengan memberikan perhatian pada butir-butir kunci termasuk kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan dan bagian-bagian yang sukar, (d) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba melakukan praktik dengan pengawasan dan bimbingan, (e) memberikan penilaian terhadap usaha peserta didik.
Edwardes (1981) menjelaskan bahwa proses pembelajaran praktik mencakup tiga tahap, yaitu (a) penyajian dari pendidik, (b) kegiatan praktik peserta didik, dan (c) penilaian hasil kerja peserta didik. Guru harus menjelaskan kepada peserta didik kompetensi kunci yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kompetensi kunci adalah kemampuan utama yang harus dimiliki seseorang agar tugas atau pekerjaan dapat diselesaikan dengan cara benar dan hasilnya optimal.
D. Penilaian Hasil Belajar Psikomotor
Ada beberapa ahli yang menjelaskan cara menilai hasil belajar psikomotor. Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui (1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.
Sementara itu Leighbody (1968) berpendapat bahwa penilaian hasil belajar psikomotor mencakup: (1) kemampuan menggunakan alat dan sikap kerja, (2) kemampuan menganalisis suatu pekerjaan dan menyusun urut-urutan pengerjaan, (3) kecepatan mengerjakan tugas, (4) kemampuan membaca gambar dan atau simbol, (5) keserasian bentuk dengan yang diharapkan dan atau ukuran yang telah ditentukan.
E. Tes Pragmatik
Tes pragmatic merupakan suatu pendekatan dalam tes keterampilan (skills) berbahasa untuk mengukur seberapa baik siswa mempergunakan elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata (Oller, dalam Burhan Nurgiyantoro, 2001:177). Tes pragmatic sebagai tes bahasa untuk kemampuan produktif yakni kemampuan berbicara dan menulis. Kegiatan berbicara merupakan kegiatan menghasilkan bahasa dan mengkomunikasikan ide dan pikiran secara lisan. Unsur bahasa dan pikiran merupakan dua unsur yang tak dapat dipisahkan dalam kegiatan berbicara. Untuk berbicara dengan baik, harus dikuasai secara aktif struktur dan kosa kata bahasa yang bersangkutan yang akan dipergunakan sebagai wadah untuk menampung pikiran yang akan dikemukakan, disamping system bunyi bahasa itu. Masalah kelancaran dan ketetapan bahasa serta kejelasan pikiran merupakan hal yang sering diteskan (dinilai) dalam kegiatan berbicara.
Secara prinsipial kegiatan menulis tidak berbeda dengan kegiatan berbicara, kegiatan menghasilkan bahasa dan mengkomunikasikan pikiran secara tertulis. Tes keterampilan menulis pun akan berkisar pada ketepatan bahasa yang dipergunakan dan kejelasan pikiran yang dikemukakan.
Berikut beberapa contoh tes kebahasaan yang bersifat pragmatic yakni:
1. Dikte
Dikte merupakan salah satu cara yang sering dilakukan untuk mengukur kemampuan berbahasa siswa. Jika urutan kata dan frase yang didiktekan berupa wacana (prosa, dialog, atau bentuk kegiatan berbahasa yang lain) kehidupan berbahasa yang wajar, dan jika penyajiannya dengan kecepatan yang wajar seperti halnya orang berkomunikasi sehingga menuntut siswa untuk mempergunakan kemampuan ingatannya. Dengan dikte, siswa dituntut untuk mampu memahami makna dari sesuatu yang didengar dan kemudian menuliskannya dengan sekaligus mengatasi kendala waktu.
Dikte tidak hanya menyangkut konteks linguistic saja, melainkan juga melibatkan konteks ekstralinguistik. Konteks linguistic adalah wujud bahasa sebagai suatu lambing verbal dengan segala aspek-aspeknya, sedang konteks ekstralinguistik adalah suatu “dunia”, “sesuatu” yang berada di luar bahasa, “sesuatu” yang ingin disampaikan melalui alat bahasa.
Dikte menuntut kegiatan mental secara aktif dan kreatif. Oller dalam Burhan Nurgiyantoro mengemukakan bahwa dikte sebagai tes kebahasaan sangat sesuai dengan criteria validitas konstruk karena a) mencerminkan landasan teoritis tes kebahasaan, b) berkorelasi secara positif dengan tes kebahasaan lain yang sejenis, dan c) kesalahan-kesalahan dalam dikte berkaitan erat dengan kesalahan-kesalahan yang dibuat siswa dalam pemakaian bahasa secara nyata (2001:180).
Prosedur dikte dapat dibuat secara bervariasi, dengan teknik-teknik yang berupa dikte standar, dikte sebagian, dikte dengan gangguan suara, dikte-komposisi, dan produksi lisan imitasi (Oller dalam Burhan Nurgiyantoro, 2001:180). Dalam dikte standar, siswa diminta menulis wacana yang dibacakan langsung atau melalui rekaman dengan kecepatan normal. Dikte yang dibacakan dengan lambat, pendek (missal satu kata atau suku kata tiap ucapan) tidak bersifat alami. Dalam dikte sebagian, dibacakan seperti dalam dikte standar, tetapi terdapat kata-kata tertentu yang dihilangkan. Tugas siswa adalah menulis kata-kata yang dihilangkan tersebut.
Dikte dengan gangguan suara adalah dikte yang disertai suara lain yang sengaja dimaksudkan untuk mengganggu suara yang didiktekan. Dikte komposisi (dictation-composition, disingkat: dicto-comp), adalah dikte standar (prosa atau dialog) yang meminta siswa untuk mendengarkannya, dan setelah selesai, menuliskannya kembali dalam bentuk karangan. Prosedurer dalam produksi lisan imitasi (elicited imitation) pada hakikatnya tidak berbeda dengan dikte-komposisi, hanya siswa diminta untuk menceritakan kembali secara lisan. Dalam dikte-komposisi dan produksi lisan imitasi penilaian secara verbatim tidak tepat. Penilaian lebih tepat dilakukan seperti halnya dalam menilai kemampuan produkti, tertulis dan lisan.
2. Berbicara
Tes keterampilan berbicara seharusnya lebih mendapat perhatian karena paling mencerminkan kemampuan berbahasa seseorang (Oller dalam Burhan Nurgiyantoro, 2001:181). Tes keterampilan berbicara (ekpresi lisan) yang bersifat pragmatic misalnya berupa interpretasi terhadap gambar susun (rangkaian gambar yang membentuk cerita) secara lisan, wawancara, baik secara terstruktur maupun tidak terstruktur.
3. Pemahaman Parafrase
Sebuah wacana singkat disajikan kepada siswa, lisan atau tertulis, kemudian siswa diminta untuk memilih salah satu dari beberapa paraphrase alternative yang disediakan yang maknanya paling sesuai dengan wacana. Contoh tes komprehensi dengar dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
Rangsang yang diperdengarkan
- Pram yang dating pukul 10.00 lebih dahulu daripada Zan, tetapi terlambat satu jam daripada Zul Jawaban dalam lembar tugas
(a) Pram dating paling dahulu
(b) Zul dating sesudah Zan
(c) *Zul dating sebelum Zan
(d) Zan dating sebelum Pram
4. Jawaban Pertanyaan
Tugas ini berupa tes komprehensi dengar (lisan). Sebuah pertanyaan yang diajukan melalui sarana pendengaran (rangsang yang diperdengarkan), dan diikuti beberapa alernatif jawaban secara tertulis yang terdapat dalam lembar tugas. Berikut contonya:
Rangsang yang diperdengarkan
- Mahalkah buku pegangan yang diwajibkan itu? Jawaban dalam lembar tugas
(a) Bersama kawan-kawan
(b) *Uangmu pasti mencukupi
(c) Beberapa jam yang lalu
(d) Tak seindah bentuknya
Pertanyaan yang diajukan dapat juga didasarkan pada wacana bentuk dialog yang diperdengarkan sebelumnya. Berikut contohnya:
Rangsang yang diperdengarkan
(1) Suara pertama (laki-laki):
- Halo, Tin, apa kabar?
- Berapa lama kita rak berjumpa, ya?
(2) Suara kedua (perempuan):
- Baik! Sebenarnya aku masih senang di rumah. Tetapi perkuliahan hamper dimulai.
(3) Suara ketiga (perempuan)
- Kapankah kedua orang kawan itu berjumpa. Jawaban dalam lembar tugas
(a) Pada saat perkuliahan sudah berlangsung.
(b) *Menjelang perkuliahan akan berlansung.
(c) Menjelang perkuliahan sudah hampir selesai.
(d) Pada saat perkuliahan telah berakhir.
5. Teknik Cloze (Cloze Technique, Cloze Procedure, Cloze Test)
Istilah cloze berasal dari persepsi psikologi gestal yang merupakan proses “menutup” sesuatu yang belum lengkap. Dalam teknik cloze tempat kosong sengaja disediakan dalam suatu wacana dengan menghilangkan kata-kata tertentu yang kesekian (ke-n: ke-5, ke-6, atau ke-7). Tugas siswa dalam tes ini adalah mengisikan kembali kata-kata yang dihilangkan tersebut. Untuk mengisikan kembali kata-kata itu secara tepat, siswa dituntut menguasai system gramatikal bahasa dan harus dapat memahami wacana.
Untuk maksud mengukur kemampuan berbahasa siswa, penyusunan teknik cloze harus dipilihkan wacana yang “memaksa” siswa untuk memahami wacana itu. Wacana yang sifat redundansinya (melimpah) tinggi sehingga mudah dikenal, tidak tepat dipilih karena wacana ini hanya menuntut kemampuan ingatan seperti halnya melengkapi pola visual di atas. Wacana teknis yang hanya dikenal oleh kelompok tertentu saja, sifat redudansinya tinggi, sehingga juga tidak baik dipergunakan.
Berikut dicontohkan sebuah teknik cloze:
Dalam sebuah negeri ada seorang permaisuri tua, sedang raja negeri itu sudah lama mangkat. Permaisuri itu ……..(1) seorang putrid yang amat cantik…….(2). Putri itu telah bertunangan dengan …….(3) anak raja yang jauh negerinya………(4) sampai waktu akan kawin, putri…….(5) bersiaplah hendak berangkat ke negeri……(6).
Kata yang dihilangkan: (1) mempunyai, (2) parasnya, (3) seorang, (4) setelah, (5) itu, (6) tunangannya.
F. Penutup
Dari penjelasan di atas dapat dirangkum bahwa dalam penilaian hasil belajar psikomotor atau keterampilan harus mencakup persiapan, proses, dan produk. Penilaian dapat dilakukan pada saat proses berlangsung yaitu pada waktu peserta didik melakukan praktik, atau sesudah proses berlangsung dengan cara mengetes peserta didik.
DAFTAR BACAAN
Burhan Nurgiyantoro. (2001). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra. Yogyakarta: BPFE.
Dave, R.H. (1967). Taxonomy of educational objectives and achievement testing. London: University of London Press.
Edwardes, HN. 1981. Bagaimana membantu orang belajar keterampilan. Padang: FPTK –IKIP Padang.
Goetz, P.W.1981. The new encyclopedi britanica. Vol. 10, 15th. ed. Chicago: William Benton Publisher.
Leighbody, G.B. (1968). Methods of teaching shop and technical subjects. New York: Delmar Publishing
Mills, H.R. (1977). Teaching and training. London: The Macmillan Press, Ltd
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun (2007) tentang Standar Pengelolaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun (2007) tentang Standar Penilaian Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun (2007) tentang Standar proses. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun (2005) tentang Standar nasional pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Ryan, D.C. (1980). Characteristics of teacher. a research study: Their description, comparation, and appraisal. Washington, DC: American Council of Education.
Singer,R.N. (1972). The psychomotor domain: movement behavior. London: Henry Kimton Publisher.
http://wwwmuslimcom.blogspot.com/
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Landasan Teori
1. Pengertian Menulis
Perkembangan zaman yang semakin maju serta peradaban manusia yang semakin modern, harus dapat meningkatkatkan aktifitas serta kreatifitas belajar siswa, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas belajar siswa sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh sebab itu, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi dianjurkan agar gemar menulis, dan manjadikan menulis sebagai suatu keharusan yang tidak bisa ditinggalkan, karena dengan gemar menulis siswa tidak akan menjadi manusia yang tertinggal, bahkan siswa akan menjadi pintar.
Pada era informasi ini, banyak sekali informasi – informasi penting yang harus diketahui dan siswa harus dapat mengumpulkan informasi – informasi tersebut menjadi suatu permasalahan yang harus dicari penyelesaiannya. Caranya adalah dengan menulis dan mengumpulkan informasi tersebut. Alwin Tofler mengatakan bahwa; ”Hanya bangsa yang menguasai nformasi yang akan keluar sebagai pemenang ditengah dunia yang semakin ramai dari deru persaingan yang kemudian akan tampil sebagai pegawai peradaban dunia.
Berdasarkan proses kegiatannya, keterampilan berbahasa dapat dibedakan menjadi dua komponen, yaitu; Keterampilan yang bersifat reseptif dan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif. Membaca dan menyimak termasuk keterampilan yang bersifat reseptif sedangkan berbicara dan menulis termasuk keterampilan berbahasa yang bersifat produktif. Keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif berguna dalam rangka memperluas pengalaman seseorang dengan cara menerima informasi, amanat, pesan dan sebagainya. disampaikan orang melalui media, yaitu bahasa baik yang bersifat lisan maupun tulisan. Sedangkan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif sangat berguana untuk menuangkan ide, gagasan, emosi, yang sangat berguna terutama dalam mengikuti perkembangan zaman yang berjalan dengan sangat pesat. Disamping itu, perkembangan kehidupan seperti sekarang ini menuntut kemampuan menulis yang lebih tinggi lagi. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya materi tulisan seperti : Buku, Surat kabar, Majalah dan berbagai sumber informasi lainnya. Keadaan seperti ini merupakan tantangan yang sangat jelas bagi kita untuk meningkatkan kemampuan dan kegiatan membaca dengan baik dan benar.
Kita menyadari akan pentingnya peranan menulis dalam kehidupan manusia, dimana pengajaran bahasa dan sastra indonesia disekolahpun menempatkan menulis sebagai kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia.
Dalam dunia pendidikan, kemampuan menulis mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Berbagai hasil penelitian menunjukan bukti bahwa kemampuan menulis merupakan faktor yang sangat menentukan tinggi rendahnya prestasi seseorang. Karena seseorang yang tinggi kemampuannya dalam menulis akan tinggi pula prestasi belajarnya. Sangatlah wajar apabila banyak guru dan ahli dalam bidang kependidikan tidak ragu – ragu lagi memandang kemampuan menulis sebagai urat nadi pendidikan.
Kemampuan belajar siswa ditentukan oleh beberapa faktor yang sangat menunjang terhadap keberhasilan belajar siswa, diantaranya ; kondisi sosial ekonomi siswa, guru, metode pengajaran, dan kondisi fisik atau mental siswa. Oleh karena itu, perlu kita sadari bahwa kemampuan menulis merupakan pra kondisi dari penguasaan – penguasaan konsep materi bidang studi lainnya.
Keterampilan berbahasa meliputi empat komponen yang disebut catur tunggal. Salah satu keterampilan berbahasa tersebut adalah keterampilan menulis. Menulis adalah salah satu cara untuk mengepresikan diri, mengungkapkan ide, dan menuangkan apa saja yang ada dalam bathin si penulis. Lewat rangkaian kalimat – kalimatlah, ide atau pendapat tentang pengalaman yang ingin disampaikan kepada pembaca dihidangkan.
Suhendar dan supinah (1992: 2) menyatakan bahwa menulis merupakan proses perubahan pikiran, angan – angan atau perasaan menjadi wujud lambang, tanda atau tulisan.
Selanjutnya Hernowo (2002: 16) menjelaskan bahwa kegiatan menulis bukan sekedar membuat huruf – huruf dengan pena pada selembar kertas melainkan sebagai upaya untuk melahirkan pikiran dan perasaan. Ia menambahkan bahwa melalui kegiatan menulis kita bisa mengepresikan diri secara total.
Sementara Ahkaidah, dkk (1998: 2) berpendapat bahwa menulis berarti mengorganisasikan gagasan secara sistematis serta mengungkapkannya secara tersurat. Hal senada dikemukakan ole Sumadjo (2001: 17) bahwa menulis merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi gagasan.
Berdasarkan pernyataan tersebut, menulis merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi tidak langsung untuk mengepresikan pikiran dan perasaan secara sistematis dan logis sehingga tulisannya mudah dipahami oleh pembaca. Pelayanan Model Pembelajaran yang menggunakan media foto merupakan proses bantuan psikologis secara ilmiah yang diberikan oleh pembimbing kepada yang dibimbing (peserta didik) agar ia dengan kemampuannya sendiri dapat berkembang secara optimal sehingga mampu memahami diri, mengarahkan diri, mengaktualisasikan diri, sesuai tahap perkembangan, sifat-sifat, potensi yang dimiliki, dan latar belakang kehidupan serta lingkungannya sehingga tercapai kebahagiaan dalam kehidupannya.
Selanjutnya pendapat Nurgiantoro (1995: 296), yang dimaksud menulis adalah aktivitas produktif serta aktifitas pengungkapan bahasa. Secara umum menulis adalah aktifitas mengungkapkan gagasan, pendapat, ide, dan pikiran melalui media bahasa.
1) Prinsip-prinsip berkenaan dengan sasaran menulis :
§ Mengemukakan beberapa manfaat menulis
§ Memaksa untuk banyak menyerap, mencari serta menguasai informasi sehubungan dengan topik yang hendak ditulis
§ Menjelaskan permasalahan yang semula masih samar
2) Prinsi-prinsip berkenaan dengan permasalahan individu
§ Siswa mampu menyampaikan informasi secara lisan dan tertulis
sesuai dengan konteks dan keadaan
§ Siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, pengalaman, dan pesan secara lisan dan tertulis
§ Siswa peka terhadap lingkungan dan mampu mengungkapkannya dalam karangan baik prosa maupun puisi
3) Prinsip-prinsip berkenaan dengan program Kegiatan Menulis
§ Siswa mampu menyusun karya tulis sederhana dan memperhatikan aturan – aturan penulisan
§ Siswa mampu mengungkapkan pengalaman, gagasan, pesan, pendapat, dan pernyataan secara sistematis, logis dan kreatif yang sesuai dengan konteks dan situasi
4) Prinsip-prinsip berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan Menulis
§ Menyusun berbagai macam surat undangan
§ Menyusun Karangan berdasarkan berdasarkan beberapa bacaan dengan tema yang sama
§ Menyusun telegram untuk berbagai keperluan, kemudian mengubah menjadi surat undangan atau sebaliknya
§ Menuliskan pengalaman pribadi yang paling berkesan dan membacakannya didepan kelas kemudian mempublikasikannya untuk majalah dinding
§ Menyusun sebuah laporan atau membuat ulasan suatu kegiatan
2. Karangan Narasi
Narasi berasal dari bahasa Inggris ”naration”yang berarti cerita yang terdiri atas kumpulan peristiwa yang disusun menurut ukuran waktu (kronologis) sehingga merupakan uraian peristiwa yang menarik (Suhendar dan supinah, 1993:19). Selanjutnya pengertian narasi juga diungkapkan oleh Rusyana ( 1984:135) bahwa karangan narasi (kisahan) isinya merupakan terjadinya peristiwa. Baik peristiwa kenyataan maupun cerita rekaan. Berkenaan dengan peristiwa itu, dipaparkan siapa yang menjadi pelakunya, dimana tempat terjadinya, bagaimana suasana kejadiannya, dan siapa juru ceritanya.
Dari beberapa pengertian karangan narasi yang dikemukakan para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa karangan narasi adalah suatu jenis karangan yang menceritakan suatu peristiwa, baik yang bersifat nyata maupun rekaan.
o Adapun ciri – ciri karangan narasi adalah sebagai berikut;
1) Peristiwa yang diceritakan disusun secara kronologis, artinya didalam penyusunan peristiwa – peristiwa digunakan alur cerita/ plot.
2) Dalam karangan narasi terdapat tokoh – tokoh yang diungkapkan dalam wacana tersebut, bahkan lebih jauh disertai perwatakannya
3) Tujuan untuk memperluas pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman bathiniah
o Sedangkan Unsur – Unsur dalam Penulisan Karangan narasi adalah sebagai berikut;
a. Tema
b. Alur
c. Penokohan
d. Latar
e. Sudut Pandang
f. Amanat
o Adapun jenis Karangan Narasi adalah sebagai berikut;
1) Narasi ekspositoris
2) Narasi sugestif
3. Media Pengajaran
a. Pengertian
Media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Maksudnya adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan.
Gerlanch dan Ely (dalam Mudoffir, 1990: 81) menyatakan bahwa secara luas, media dapat diartikan dengan manusia, benda, ataupun peristiwa yang membuat kondisis siswa mampu memperoleh pengetahuan atau sikap. Lebih khusus lagi Arsyad( 2003: 3) mengartikan media dalam proses Belajar Mengajar cenderung diartikan sebagai alat – alat grafis, fotografis, atau elektronik untuk menengkap, memproses dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
b. Manfaat Media Pengajaran
Sudjana dan Ahmad Riva’i ( 2001: 2) mengemukakan manfaat media pengajaran dalam proses Belajar Mengajar, yaitu sebagai berikut;
1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat
menumbuhkan motivasi belajar
2) Pengajaran kan lebih jelas maknanya sehingga memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih banyak
3) Metode Mengajar akan lebih bervariasi
B. Kerangka Berfikir
Pada setiap tahap perkembangan individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan dalam perkembangannya. Tugas perkembangan yang berhasil adalah tugas yang dapat diselesaikan dalam hidupnya sesuai dengan situasi kondisinya. Foto mrupakan media gambar tetap (still picture) yang tidak tembus pandang dan termasuk media visual dua dimensi.
Latuheru mengatakan bahwa foto dapat digunakan untuk mrangsang dan menimbulkan daya kreasi, misalnya dalam menulis cerpen, menulis cerita atau menulis puisi. Kemudian Sudjana dan Riva’i (2001: 70) menambahkan bahwa foto dapat membangkitkan minat siswa pada pembelajaran, dapat membantu dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, kegiatan seni, pernyataan kreatif dan bercerita, dramatisasi, bacaan, penulisan, melukis, dan menggambarkan serta membantu menafsirkan dan mengingat – ingat isi materi bacaan dari buku – buku teks.
Dalam penelitian ini foto digunakan sebagai media untuk merangsang siswa agar mampu menuangkan ide dan menentukan tema dalam menulis karangan narasi. Foto pribadi siswa ini dimaksudkan untuk lebih memfokuskan karangan narasi siswa tanpa membatasi imajinasinya. Foto yang kedua adalah foto yang disediakan oleh peneliti. Media yang dimaksudkan adalah foto – foto yang dekat dengan lingkungan keseharian siswa seperti, pedagang asongan, sopir angkot, petugas kebersihan, kereta api, orang yang sedang bermain bola basket, patung dan suasana senja. Media ini dipilih sesuai dengan salah satu butir tujuan pembelajaran menulis.
Foto sebagai media dalam pembelajaran menulis, khususnya menulis karangan narasi memiliki beberapa keuntungan antara lain;
1) Dapat meningkatkan Imajinasi
2) Dapat memberikan peluang untuk menyalurkan inspirasi siswa
3) Dapat menambah daya kreatifitas siswa
4) Dapat mengasah ingatan siswa
5) Dapat mengasah kepekaan siswa terhadap lingkungan sekitarnya
Salah satu teknik yang dapat dipergunakan dalam memahami pesan – pesan visual dari sebuah gambar atau foto adalah melalui fase – fase sebagai berikut
a) Fase Diperensiasi
b) Fase Integrasi
c) Fase konseptualisasi
C. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan asumsi yang telah diuraikan, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut:
1) Pengetahuan siswa Kelas VII SMP Negeri I Cikedal Tahun ajaran 2007/ 2008 tentang pembelajaran yang menggunakan media foto semakin bertambah dan semakin baik
2) Pengetahuan siswa Kelas VII SMP Negeri I Cikedal Tahun ajaran 2007/ 2008 tentang Menulis karangan narasi semakin bertambah baik
3) Terdapat Pengaruh yang positif antara Pembelajaran yang mengunakan
media foto terhadap hasil belajar menulis karangan narasi siswa kelas VII SMP Negeri I Cikedal dalam pembelajaran Bahasa dan Sastera Indonesia
http://nusantaralink.blogspot.com/2009/01/karakteristik-perencanaan-pembelajaran.html

Karakteristik Perencanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia

KARAKTERISTIK PERENCANAAN
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Ahmad Jamaludin Sayuti
Cianjur, Jawa Barat, Indonesia
Mahasiswa sertifikasi Guru Bahasa Indonesia angkatan II FBS UNY 2008/2009 Guru Bahasa Indonesia SMPN 3 Bojongpicung Kabupaten Cianjur


1. Pendahuluan
Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran di Sekolah Menengah Pertama memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan mata pelajaran lain, terutama pelajaran nonbahasa. Demikian juga pada perencanaan pembelajarannya, pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik perencanaan pembelajaran Bahasa Indonesia dapat ditinjau antara lain dari segi :
1. Teori Belajar Bahasa
2. Pendekatan Dalam Pembelajaran Bahasa
3. Strategi Belajar
4. Metode Pembelajaran
5. Hasil Belajar dalam Tiga Ranah
2. Teori Belajar Bahasa
1. Teori Disiplin Mental
Teori Disiplin Mental (Plato, Aristoteles) berpandangan bahwa dalam belajar, pembelajaran didisiplinkan atau dilatih. Perkembangan anak terjadi akibat proses pelatihan yang dilakukan terus menerus. Teori ini selanjutnya berkembang menjadi teori behavioristik. Belajar dapat berhasil apabila mental seseorang didisiplinkan melalui kebiasaan yang ketat. Seseorang pandai berperang karena memang didisiplinkan dalam berperang. Konsep pembiasaan amat berperan dalam teori tersebut.
Pembelajar berada dalam posisi pasif dalam penentuan program belajar. Yang aktif dalam penyusunan program belajar adalah guru. Siswa harus aktif mengikuti konsep pendisiplinan yang telah dirancang guru secara mekanistis. Secara mekanistis pula siswa mengalami perkembangan belajar.
Perkembangan belajar siswa tidak terjadi secara alamiah, tetapi terbentuk dan terpola oleh program pendisiplinan mental yang telah ditentukan oleh guru atau penanggung jawab program. Hafalan, pembiasaan, pengulangan, dan penekanan, merupakan hal teramat penting dalam teori belajar ini.
2. Teori Pengembangan Alamiah
Setiap anak akan berkembang secara alamiah sehingga proses belajar pun berlangsung secara alamiah pula. Dalam perkembangannya anak akan mencapai tingkat kematangan untuk kemampuan-kemampuan tertentu. Anak akan mengalami proses belajar sesuai tingkat kematangannya.
Anak dipandang sebagai subjek yang berkembang sesuai dengan kematangannya. Belajar terjadi berdasarkan perkembangan itu sendiri. Aspek alamiah yang mendasarkan kualitas pribadi siswa menjadi orientasi utama dalam teori tersebut. Program belajar dikembangkan berdasarkan karanteristik dasar siswa.
3. Teori Behavioristik
Kaum behavioris yakin bahwa belajar bahasa pada hakikatnya adalah masalah pembiasaan dan pembentukan kebiasaan. Dengan pola pikir bahwa dalam proses pembelajaran yang penting adalah stimulus dan respons dan adanya penguatan. Oleh sebab itu, dalam dunia pembelajaran bahasa teori itu melahirkan pendekatan audiolingual yang banyak memberikan pengulangan. Mereka yakin jika belajar bahasa itu dilakukan dengan pengulangan, maka kompetensi berbahasa itu akan dapat diperoleh.
4. Teori Generatif (Kognitivisme dan Nativisme)
Kaum Nativis pada hakikatnya menafikan hadirnya hal-hal yang berbau mentalistik. Hal itulah yang kemudian banyak ditentang. Manusia bukanlah botol kosong yang dapat diisi semau-mau kita. Manusia adalah organisme yang mempunyai potensi-potensi. Kaum Nativis yakin bahwa anak sejak lahir sudah dikaruniai piranti pemerolehan bahasa (languange acquisition device) yang menurut McNeil berupa:
1. kemampuan membedakan bunyi ujaran dengan bunyi yang lain dalam lingkungannya;
2. kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam;
3. pengertian adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sitem yang lain yang tidak mungkin;
4. kemampuan untuk tetap mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.
5. Teori Humanistik/Teori Sosial
Proses belajar tidak hanya terjadi karena seseorang mendapatkan stimulus dari lingkungannya dan merseponnya tetapi terjadi pulan karena pelaku belajar berkomunikasi dnegan individu lainnya. Proses belajar terjadi karena komunikasi personal. Dalam diri pembelajar terjadi transaksi akibat komunikasi dua arah atau lebih yang masing-masing mkendapat kesempatan, baik selaku inisiator maupun merekasi komunikasi. Komunikasi itu dapat berlangsung secara akrab, intensif, dan mendalam.
Oleh karena itu, teori humanistik menjadi teori sosial, yang dikembangkan oleh Bandura. Dalam belajar berdasarkan teori sosial terdapat 4 fase yaitu:
1. perhatian,
2. retensi,
3. reproduksi, dan
4. motivasi.
Manusia akan belajar apa saja selama dia membutuhkan. Dia tidak peduli dengan kognitif yang aktual atau pengalamannya. Menurut Rogers, dalam konteks belajar yang diciptakan manusia akan belajar apa saja yang dia butuhkan. Konsep Roger tersebut saat ini memberikan perubahan besar bagi konsep pembelajaran yang bertumpu pada pembelajar. Pembelajaran itu sangat individual. Oleh karena itu, jika ingin berhasil dalam pembelajaran perhatikan kebutuhan individual dalam belajar.
6. Teori Gestalt
Psikologi Gestald memandang unsur-unsur yang terlibat dalam proses belajar tidak terpisahkan tetapi merupakan totalitas dalam membentuk medan belajar. Oleh karena itu, Teori Gestald disebut pula dengan teori medan. Gestald berarti bentuk yang yang terdiri atas unsur-unsurnya. Beberapa unsur yang distrukturisasi dapat menghasilkan efek sinergis yang merupakan gestald. Teori ini dikembangkan oleh Lewin .
Menurut Lewin perubahan tingkah laku merupakan indikator hasil belajar. Diperoleh karena lingkungan yang disediakan difungsikan untuk memfasilitasi potensi internal yang terdapat dalam diri pembelajar. Lingkungan tidak secara langsung mengubah tingkah laku. Perpustakaan sekolah tidak akan berfungsi jika guru tidak memfungsikannya.
3. Pendekatan Dalam Pembelajaran Bahasa
1. Pembelajaran Bahasa Masyarakat (Community Language Learning)
Pendekatan ini berakar pada psikoterapi, yang memposisikan guru sebagai konselor dan siswa sebagai klien. Konselor bertugas menghilangkan perasaan negatif. Ia bersifat fasilitatif, ramah, penuh pengertian, dan mendukung penuh kliennya. Untuk mendukung pembelajaran dibutuhkan SARD, yakni security (rasa aman), attention-agression(atensi-agresi), retention-reflection (retensi-refleksi), dan descrimination (deskriminasi). Dalam pendekatan ini kelas diajukan dalam kelompok kecil, yakni sekitar 6-12 orang.
2. Respon Fisik Total (Total Physical Respon)
Pendekatan ini berakar pada pandangan bahwa asimilasi informasi dan keterampilan dapat ditingkatkan secara signifikan bila sistem sensori kinestetik dimanfaatkan secara optimal. Dalam pendekatan ini pembelajar harus membekali diri dengan keterampilan komprehensi dulu sebelum menguasai keterampilan produksi. Kelas dirancang dalam ukuran kelompok kecil, yakni 20-25 orang. Supaya sistem sensori kinestetik optimal, pembelajaran banyak dilakukan dalam bentuk perintah-perintah.
3. Pendekatan Alamiah (Natural Approach/NA)
Pendekatan ini berpandangan bahwa penguasan bahasa lebih banyak bertumpu pada konteks yang alamiah dan bukan pada konteks yang formal ilmiah. Pendekatan ini juga berpandangan bahwa dalam pembelajaran bahasa yang utama ialah mencapai kompetensi komunikatif. Kesalahan tidak harus dihujat karena kesalahan merupakan proses dalam pembelajaran untuk menuju pada penguasaan bahasa yang baik. Model teoretis pendekatan alamiah bersandar pada lima hipotesis Krashen, yakni hipotesis pembelajaran-pemerolehan, hipotesis urutan alamiah, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis filter afektif.
4. Pendekatan Diam (Silent Way, SW)
Pendekatan diam berpandangan bahwa dalam pembelajaran bahasa selayaknya kita mengandlalkan kekuatan-dalam yang ada pada diri siswa. pembelajaran bahsa tidak harus dengan pengulangan ataupun imitasi. Penganut pendekatan ini juga yakin bahwa pembelajaran harus berpusat pada anak, bahkan sangat ekstrem, guru harus diam, anak yang harus berbicara dan bekerja keras. Dalam pendekatan diam diam ini guru dapat menggunakan media (1) seperangkat kayu dengan ukuran dan warna yang berbeda-beda; (2) beberan Fidel; (3) beberan dinding; (4) pita dan alat rekaman, film, transparansi, gambar; dan (5) teks dan buku cerita; dan (6) antologi.
5. Sugestopedia
Pendekatan ini berlandaskan pada sugestologi, yakni konsep yang berpendapat bahwa manusia dapat diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan diberikan sugesti kepadanya. Pikiran dibuat setenang-tenangnya, santai, dan terbuka sehingga merangsang saraf penerimaan otak pembelajar. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pembelajaran dianjurkan pembelajar menggunakan musik pengiring yang selaras, yang tenang, seperti musik klasik Barat atau musik klasik Jawa. Juga dianjurkan untuk mencapai ketenangan itu dengan melakuakan yoga.
4. Strategi Belajar Bahasa Indonesia
Jika kita merasa pusing saat mempelajari sesuatu tetapi tidak dapat menangkap maknanya, berarti kita belum menemukan strategi yang cocok untuk mempelajari hal itu. Betapa riangnya, seorang anak ketika berusaha menemukan sesuatu dalam suatu konsep yang dia pelajari, ternyata didapatkannya dengan cepat dan tepat. Ketepatan dan ketidaktepatan dalam belajar ditentukan oleh strategi belajar yang diterapkan.
Strategi belajar mengacu pada prilaku dan proses berpikir siswa yang mempengaruhi apa yang dipelajari, termasuk proses mememori dan metakognitif. Strategi adalah operator-operator koginitif yang langsung terlibat dalam menyelesaikan tugas belajar. Dalam penyelesaian belajar itu terdapat karakteristik belajar masing-masing individu. Dari karakteristik itu dapat digambarkan jenis utama strategi belajar.
Jenis utama strategi belajar terdiri dari:
1. Strategi Mengulang
1. Mengulang sederhana
Strategi mengulang sederhana digunakan untuk sekedar membaca ulang materi tertentu hanya untuk menghafal saja(contoh menghafal nomor telepon, arah tempat, waktu tertentu, daftar belanjaan). Memori yang sudah ada di pikiran dimunculkan kembali untuk kepentingan jangka pendek, seketika, dan sederhana.
2. Mengulang kompleks
Penyerapan bahan yang lebih kompleks memerlukan strategi mengulang yang kompleks. Menggarisbawahi ide-ide kunci, membuat catatan pinggir, dan menuliskan kembali inti informasi yang telah diterima merupakan bagian dari mengulang kompleks.
2. Strategi Elaborasi(PQ4R)
Elaborasi adalah proses penambahan rincian sehingga menjadi informasi baru akan menjadi lebih bermakna. Dengan strategi elaborasi, pengkodeaan lebih mudah dilakukan dan lebih memberikan kepastian. Strategi ini membantu pemindahan informasi baru dari meori di otak yang bersifat jangka pendek ke jangka panjang dengan menciptakan hubungan dan gabungan antara informasi baru dengan yang pernah ada.
Beberapa bentuk strategi Elaborasi adalah pembuatan catatan, analogi, dan PQ4R. Pembuatan Catatan adalah strategi yang menggabungkan informasi yang dipunyai sebelumnya dengan informasi baru yang di dapat memlalui poroses mencatat. Dengan mencatat siswa dapat menuangkan ide baru dari pencampuran dua informasi itu. Kemudian, Analogi merupakan cara belajar dengan perbandingan yang dibuat untuk menunjukkan persamaan antara ciri pokok benda atau ide, misalnya otak kita mirip dingan komputer yang menerima dan menyimpan informasi. PQ4R (Preview = membaca selintas dengan cepat, Question=bertanya, Read = membaca, Reflect = merefleksi, dan review = mengulang secara menyeluruh) merupakan strategi yang digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka baca. PQ4R merupakan strategi yang terbukti efektif dalam membantu siswa menghafal isi bacaan.
3. Strategi Organisasi
Strategi organisasi membantu pelaku belajar meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan baru dengan struktur peongorganisasian baru. Strategi organisasi terdiri atas pengelompokan ulang ide-ide atau istilah menjadi subset yang lebih kecil. Strategi ini berperan sebagai pengidentifikasian ide-ide atau fakta kunci dari sekumpulan informasi yang lebih besar.
Bentuk strategi organisasi:
1. Outlining(membuat garis besar), Siswa menghubungkan berbagai macam topik atau ide dengan beberapa ide utama.
2. Mapping (Pemetaan Konsep), Dalam beberapa hal lebih efektif daripada outlining.
3. Mnemonic (membentuk kategori khusus), Secara teknik dapat diklasifikasikan sebagai strategi elaborasi dan organisasi. Menemonic membantu mengorganisasikan informasi menjadi memori kerja dengan membentuk asosiasi yang secara alamiah tidak bisa terjadi. Strategi Mnemonic terdiri atas pemotongan, akronim, dan kata berkait.
4. Strategi Metakognitif (“Learning How To Learn”)
Metakognitif berhubungan dengan dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka dan kemampuan menggunakan strategi belajar dengan tepat. Metakognitif mempunyai dua komponen, yaitu pengetahuan tentang kognisi dan mekanisme pengendalian atau monitoring kognisi. Metakognitif mementingkan ”belajar bagaimana belajar”( Learning how to learn).
5. Metode Pembelajaran
1. Metode Tatabahasa/Terjemahan
1. Penghafalan kaidah dan fakta tata bahasa
2. Penekanan pada membaca, mengarang, terjemahan (Berbicara dan menyimak diabaikan)
3. Seleksi kosa kata berdasarkan teks bacaan yang dipakai
4. Unit yang mendasar adalah kalimat, tatabahasa diajarkan secra deduktif
5. Bahasa daerah digunakan sebagai pengantar terjemahan, keterangan, perbandingan, dan penghafalan kaidah bahasa.
2. Metode membaca
1. Pemberian kosakata dan istilah yang dianggap sukar (dengan definsi dan contoh ke dalam kalimat)
2. Penyajian bacaan di kelas (dibaca diam 10-15 menit atau untuk mempercepat diberikan sehari sebelumnya)
3. Diskusi isi bacaan dapat melalui tanya jawab
4. Tatabahasa dibicarakan singkat, jika dipandang perlu pembicaraan kosa kata yang relevan
5. Pemberian tugas seperti mengarang Irelevan dengan isi bacaan) atau membuat denah, skema, diagram, ikhtisar, rangkuman, dsb.
3. Metode Audiolingual
1. Penyajian dialog/teks pendek yang dibacakan guru berulang-ulang,
2. Siswa menyimak tanpa melihat teks yang diucapkan.
3. Peniruan dan pelafalan teks itu setiap kalimat secara serentak dan siswa melafalkannya.
4. Siswa menyimak tanpa melihat teks yang diucapkan.
5. Penyajian kalimat dilatihkan dengan pengulangan.
6. Dramatisasi dialog atau teks yang dilatihkan kemudian siswa memperagakan di depan kelas.
7. Pembentukan kalimat lain yang sesuai dengan yang dilatihkan.
4. Metode Reseptif dan Produktif
Metode Reseptif dalam membaca dan menyimak:
1. Mengarah ke proses penerimaan isi bacaan yang tersurat, tersirat, atau tersorot
2. Cocok diterapkan pada siswa yang telah banyak menguasai kosakata, frase, dan kalimat
3. Sangat dipentingkan bagaimana isi bacaan dapat diserap dengan bagus.
4. Pembaca dilarang bersuara, berkomat-kamit, dan bergerak-gerak
5. Membutuhkan konsentrasi tinggi dalam menerima makna bacaan dan ujaran
Metode Produktif diarahkan pada berbicara dan menulis.
Siswa harus banyak berbicara atau menuangkan gagasannya.
5. Metode Langsung (Alamiah/Lisan)
1. Pembelajaran dimulai dengan dialog atau humor yang pendek dalam bahasa Indonesia dengan gaya bahasa santai dan nonformal.
2. Materi mulai-mula disajikan secara lisan dengan gerakan atau isyarat tertentu, dramatisasi, dan gambar-gambar.
3. Tanya jawab berdasarkan bahasa yang dipelajari dengan memberikan contoh yang merangsang siswa.
4. Tata bahasa diajarkan secara induktif.
5. Kata-kata digunakan dalam percakapan-percakapan.
6. Siswa yang sudah maju diberi bacaan sastra untuk pemahaman dan kenikmatan, tetapi bahasa dalam bacaan tidak dianalisis secara struktural/sistematis.
7. Budaya yang relevan diajarkan secara induktif.
6. Metode Komunikatif
Desain yang bermuatan komunikatif harus mencakup semua keterampilan berbahasa. Setiap tujuan diorganisasikan ke dalam pembelajaran. Setiap pembelajaran dispesifikkan ke dalam tujuan kongkret yang merupakan produk akhir. Sebuah produk (mis. surat, laporan, peta) dimaksudkan sebagai sebuah informasi yang dapat dipahami, ditulis, diutarakan, atau disajikan ke dalam nonlinguistik.
Sebagai contoh, pembelajaran yang bertujuan menyampaikan pesan kepada orang lain. Tujuan itu dipecah menjadi a) memahami pesan, b) mengajukan pertanyaan untuk menghilangkan keraguan, c) mengajukan pertanyaan untuk memperoleh labih banyak informasi, d) membuat catatan, e) menyusun catatan secara logis, dan f) menyampaikan pesan secara lisan. Dengan begitu, pada materi bahasan penyampaian pesan saja, aktivitas komunikasi dapat terbangun secara menarik, mendalam, dan membuat siswa lebih intensif. yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.
7. Metode Integratif
Integratif berarti menyatukan beberapa aspek ke dalam satu proses. Integratif terbagi menjadi interbidang studi dan antarbidang studi. Interbidang studi artinya beberapa aspek dalam satu bidang studi. Misalnya menyimak diintegrasikan dengan berbicara dan menulis. Menulis diintegrasikan dengan berbicara dan membaca. Materi kebahasaan diintegrasikan dengan keterampilan bahasa. Sedangkan antarbidang studi artinya merupakan pengintegrasian bahan dari beberapa bidang studi, misalnya antara bahasa Indonesia dengan Matematika atau bidang studi lainnya.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, intergratif interbidang studi lebih banyak digunakan. saat pembelajaran kalimat, guru tidak secara langsung menyodorkan kepada siswa tetapi diawali dengan membaca atau kegiatan lainnya. Perpindahannya diatur secara tipis. Bahkan, guru yang pandai mengitegrasikan penyampaian materi dapat menyebabkan siswa tidak merasakan perpindahan materi.
Integratif sangat diharapkan oleh Kurikulum Bahasa Indonesia. Pengintegrasiaannya diaplikasikan sesuai dengan kompetensi dasar yang perlu dimiliki siswa. Materi tidak dipisah-pisahkan. Materi ajar justru merupakan kesatuan yang perlu dikemas secara menarik.
8. Metode Tematik
Dalam metode tematik semua komponen materi pembelajaran dintegrasikan ke dalam tema yang sama dalam satu unit pertemuan. Yang perlu dipahami adalah bahwa tema bukanlah tujuan tetapi alat yang digunakan untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Tema tersebut harus diolah dan disajikan secara kontekstuaal, kontemporer, konkret, dan konseptual.
Peran guru amat menentukan dalam mendesain kesuksesan pembelajaran bahasa Indonesia di SMP. Oleh karena itu, guru Bahasa Indonesia diharapkan:
1. guru perlu menekankan bahwa bahasa merupakan sarana berpikir. Keterampilan berbahasa siswa menjadi tolak ukur kemampuan berpikir mereka.
2. kreativitas siswa perlu diperhatikan oleh guru terutama dalam kreativitas berbahasa sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
3. Pembelajaran Bahasa Indonesia harus menyenangkan siswa. Oleh karena itu, minat, keingintahuan, dan gairah siswa perlu mendapatkan perhatian.
4. Ada banyak metode dalam teknik yang cocok yang dapat digunakan. Guru jangan sampai monoton, klise, jenuh, dan kehabisan teknik pembelajaran.
9. Metode Kuantum
Quantum Learing (QL) yang bertumpu pada metode dari Freire dan Lozanov ini mengutamakan percepatan belajar dengan cara partisipatori peserta didik dala melihat potensi diri dalam kondisi penguasaan diri. Gaya belajar dengan mengacu pada otak kanan dan otak kiri menjadi ciri khas QL. Menurut QL, proses belajar adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatunya dapat berarti (kata, pikiran, tindakan, dan asosiasi) dan sampai sejauhmana guru mengubah lingkungan, presentasi, dan rancangan pengajaran, maka sejauh itulah proses belajar berlangsung. Hubungan dinamis dalam lingkungan kelas merupakan landasan dan kerangka untuk belajar. Dengan begitu, pembelajar dapat mememori, membaca, menulis, dan membuat peta pikiran dengan cepat.
10. Metode Konstruktivistik
Asumsi sentral metode konstruktivistik adalah bahwa belajar itu menemukan. Meskipun guru menyampaikan sesuatu kepada siswa, mereka melakukan proses mental atau kerja otak atas informasi itu agar masuk kedalam pemahaman mereka. Konstruktivistik dimulai dari masalah yang sering muncul dari sendiri dan selanjutnya membantu siswa menyelesaikan dan menemukan langkah-langkah pemecahan masalah tersebut.
Metode konstruktivistik didasarkan pada teori belajar kognitif yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran generatif, strategi bertanya, inkuiri, atau menemukan dan keterampilan metakognitif lainnya.
11. Metode Partisipatori
Metode pembelajaran partisipatori lebih menekankan keterlibatan siswa secara penuh. Siswa dianggap sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa didudukkan sebagai subjek belajar. Dengan berpatisipasi aktif, siswa dapat menukan hasil belajar. Guru hanya bersifat sebagai pemandu atau fasilitator.
Asumsi metode ini adalah:
1. Setiap siswa adalah unik dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Penyeragaman dan penyamarataan akan membunuh keunikan tersebut. keunikan harus diberi tempat agar berkembang.
2. Anak bukan miniatur orang dewasa. Jalan pikir anak tidak sama dengan jalan pikir orang dewasa. Orang dewasa harus dapat menyelami cara merasa dan cara berpikir anak-anak.
3. Dunia anak adalah dunia bermain.
4. Usia anak adalah usia yang paling kreatif dalam hidup manusia.
Dalam metode ini siswa aktif, dinamis, dan berlaku sebagai subjek. Namun, bukan berarti guru harus pasif, tetapi guru juga aktif dalam memfasilitasi belajar siswa dengan suara, gambar, tulisan dinding, dan sebagainya. Guru berperan sebagai pemandu yang penuh dengan motivasi, pandai berperan sebagai mediator, dan kreatif. Konteks siswa menjadi tumpuan utama.
Metode ini memiliki tiga ciri pokok, yaitu:
1. belajar dari realitas atau pengalaman;
2. tidak menggurui, dan
3. dialogis.
12. Metode Konstetkstual
Pembelajaran kontekstual adalah konsepsi pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan pembelajaran yang memotivasi siswa agar menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Metode ini muncul sebagai reaksi terhadap teori behavioristik yang telah mendominasi pendidikan selama puluhan tahun.
Metode ini mengakui bahwa pembelajaran merupakan proses kompleks dan banyak fase yang berlangsung jauh melampaui drill oriented dan metode Stimulus-Response.
Dalam strategi ini ada tujuh elemen penting, yaitu:
1. Inkuiri
2. Pertanyaan
3. Konstruktivistik
4. Pemodelan
5. Masyarakat belajar,
6. Penilaiaan autentik, dan
7. Refleksi.
6. Proses dan Hasil Belajar
Proses dan Hasil Belajar Bahasa Indonesia mencerminkan 3 ranah, yaitu:
1. Ranah Kognitif
2. Ranah Afektif
3. Ranah Psikomotor
7. Beberapa Isi penting dalam Pembelajaran Bahasa
1. Kompetensi dan Performansi
2. Komprehensi dan Produksi
3. Dasar versus Ajar (Nature versus Nurture)
4. Kesemestaan
5. Sistemasitas dan Variabilitas
6. Bahasa dan Pikiran
7. Imitasi (Peniruan)
8. Wacana
8. Pembelajaran Bahasa Indonesia menurut KBK/KTSP
1. Siswa lebih banyak berlatih berbahasa nyata (meaning focus)
2. Tata bahasa hanya untuk membetulkan kesalahan ujaran siswa
3. Keterampilan berbahasa nyata menjadi tujuan utama
4. Membaca sebagai alat untuk belajar (Reading for Learning), bukan sekedar Learning to Read
5. Menulis sebagai alat berekspresi dan menyampaikan gagasan
6. Kelas menjadi tempat berlatih menulis, membaca, dan berbicara dalam bahasa Indonesia.
7. Penekanan pembelajaran sastra pada membaca karya sastra sebanyak-banyaknya (puisi/cerpen yang bisa diperoleh siswa dengan mudah: di majalah, karangan siswa sendiri, dsb).
8. Pembelajaran kosa kata untuk menambah kosa kata anak.

Daftar Pustaka
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta.
Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Jilid 1, 2, dan 3. Jakarta.
Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teahing and Learning) Jakarta : Dit. PLP Dirjen Dikdasmen.
Depdiknas. 2004. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
DePorter, Bobbi dkk. 2001. Quantum Teaching; Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung : Penerbit Kaifa.
Dryden, Gordon & Jeannette Vos. 2001. Revolusi Cara Belajar. Bandung : Penerbit Kaifa.
Hamalik, Umar. 1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara.